Maaf, saya tidak mengatakan sebaliknya seakan-akan orang yang tidak menulis atau berhenti menulis berarti sama seperti orang yang sudah mati.Â
Pemaknaan ungkapan "Jika saya menulis, maka saya ada" itu semata-mata lahir dari kesadaran pribadi, bahkan menjadi alasan mengapa bisa rutin menulis. Tidak hanya komitmen sebagai harga dari centang biru, tetapi juga sebuah syukur karena masih diberi waktu untuk hidup, berpikir, menulis dan berbagi.
Jadi, produktivitas dalam menulis berkaitan tidak hanya dengan komitmen untuk setia menulis, tetapi juga berkaitan dengan kegelisahan mendalam untuk terus mensyukuri kehidupan ini.
5. Warna biru berkaitan dengan simpati
Hubungan antara simpati dan menulis tidak boleh dilupakan. Pada awal menulis di Kompasiana ini, saya betul-betul mengalami betapa simpati teman-teman yang senior.
Simpati itu mereka nyatakan dengan membaca dan memberi rating terhadap tulisan-tulisan kecil saya, bahkan ada yang memberikan komentar yang memotivasi dan mendukung minat dalam menulis.
Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu menyadari apakah tulisan saya bisa menampilkan unsur simpati, baik dalam tutur kata dan gagasan-gagasan saya.Â
Yang saya sadari cuma sekian banyak teman-teman senior yang telah menyandang centang biru itu bagi saya begitu simpati. Nah, terkait simpati itu, bisa saja tidak mudah lebih khusus dalam tutur kata yang simpatik.Â
Oleh karena itu, saya menyadari bahwa tata krama, etiket dalam menulis, etika dalam menggunakan media sosial, bahkan dalam memberikan komentar dan hal-hal lainnya tetap juga perlu diperhatikan.
Apalagi kalau Kompasiana itu disebut sebagai rumah kita bersama. Saya punya harapan, semoga rumah kita ini bisa menjadi rumah yang simpatik, ya terutama para penghuninya.
Oleh karena itu, lagi-lagi tanggung jawab untuk jaga Brand kompasiana perlu menjadi tanggung jawab bersama semua penulis. Terkait tanggung jawab untuk menjaga Brand rumah kita, saya kira tidak perlu biru atau hijau, tetapi semua penulis kompasiana perlu membangungun itu mulai dari diri sendiri.