Waktu itu terasa sekali bagaimana besarnya rasa asing itu. Rasa asing itu semakin besar saat mendengar bagaimana mereka berbicara dengan bahasa yang tinggi dan begitu cepat.
Berdebat dengan dalil-dalil yang ilmiah, dibarengi dengan istilah-istilah asing lainnya. Semua pengalaman saat itu sungguh menjadikan saya merasa asing.
Namun, ketika masuk ke dalam dinamika kelompok yang lebih kecil, terasa bahwa adaptasi bahasa Jerman menjadi lebih mudah dan pada saat itu rasa asing perlahan-lahan menghilang.
Saya tidak bisa lupa bahwa rasa asing juga terjadi karena melihat deretan gelar pemberi materi yang panjang dan punya jabatan penting di universitas.Â
Terbersit cuma kesadaran bahwa  betapa pentingnya bahasa asing agar tidak menjadikan diriku terasing.
Pada hari kedua, saya berusaha mempelajari bahan secara lebih baik dan menyiapkan pertanyaan. Pada saat itulah, rasa asing dalam diri mulai ditepis.
Lebih baik rasa asing itu disadari, diolah dan diatasi, daripada dibiarkan begitu saja. Mengapa? Jika rasa asing tidak diatasi, lama-kelamaan akan menebal dan bisa saja hilang rasa bersalah, bahkan tidak menjadi lebih kreatif dan berkembang.
Bahkan sangat mungkin bahwa rasa asing yang dialami secara terus -menerus dapat menyebabkan depersonalisasi. Dan umumnya depersonalisasi terjadi ketika orang terjebak dalam situasi kehidupan yang sulit dan merasa tidak berdaya. Pendapat ini berangkat dari rujukan Sierra-Siegert dari laporan para peneliti di Universitas of Iowa pada tahun 1977.Â
Oleh karena itu, lebih baik rasa asing itu diubah melalui proses yang kreatif sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang lain, entah cerita, tulisan, lagu dan karya-karya lainnya, yang positif dan sehat bagi fisik dan psikis.
Demikian ada lima alasan yang menjelaskan mengapa orang mengalami rasa asing dan bagaimana orang bisa keluar dari rasa asing itu. Mengolah rasa agar berubah jadi karya, tetap menjadi pilihan yang penting.
Salam berbagi, ino, 31.05.2021.