Meskipun demikian, kenyataan itu tidak berarti bahwa pendidikan itu ternyata bisa menghapus budaya dan kebiasaan masyarakat. Saya yakin tidak demikian, karena pendidikan itu bertujuan untuk mencerdaskan manusia.
Pendidikan itu yang menuntun manusia untuk berpikir kritis terhadap budayanya sendiri dan  jika memungkinkan orang perlu melihat budayanya dengan kacamata transformasi budaya.
Transformasi budaya yang memungkin masyarakat tradisional tidak hanya sekedar memelihara tradisi, adat dan kebiasaan, tetapi juga mampu mempertimbangkan aspek sosial, kesehatan, genetis dan lain sebagainya secara lebih luas, terbuka dan komprehensif.
Dalam arti ini, transformasi budaya yang konstruktif, yang menuntun manusia keluar dari lingkaran cara pikir picik dan tertutup kepada keterbukaan dan universalitas.
Perjodohan tidak lagi dilihat sebagai cara orang tua untuk memelihara hubungan darah, tetapi cara orang tua memperkenalkan anak-anak mereka dengan orang lain dalam arti luas dan terbuka.
Nah, keterbukaan cara pikir inilah yang memungkinkan perubahan bukan hanya dalam dunia perjodohan, tetapi juga dalam dunia kehidupan sosial budaya.Â
4. Pengaruh perkembangan teknologi komunikasi
Tidak dapat disangkal lagi bahwa perkembangan teknologi komunikasi turut memengaruhi pergeseran konsep masyarakat tradisional dari perjodohan dengan cita rasa hubungan darah ke perjodohan yang lebih modern.
Perjodohan yang lebih modern menurut anggapan masyarakat tradisional tidak terlepas dari keyakinan bahwa semua itu adalah rencana Pencipta. Tuhan punya rencana sendiri tentang siapa yang akan menjadi pasangan hidup seseorang.
Oleh karena cara pandang seperti itulah, maka tidak heran ditemukan kenyataan-kenyataan di masyarakat tradisional bahwa perkenalan melalui media sosial pun menjadi ajang mencari jodoh.
Kenyataan sosial seperti itu diterima dan dianggap biasa untuk sebagian orang saat ini, bahkan bukan saja dalam konteks masyarakat tradisional, tetapi juga masyarakat umumnya.