Sampai dengan saat ini, istilah dan prinsip Mbuzu ndu wesa senda masih ada, cuma dengan aksen yang sudah lebih luas karena konteksnya buka saja pada lingkaran anak om, tetapi sudah lebih terbuka.
Mengapa konsep perjodohan secara tradisional itu mulai ditinggalkan?
Dalam perjalanan waktu, perjodohan dengan sistem tata cara perkawinan anak om itu mulai ditelusuri dampak-dampaknya bagi kelahiran anak dan perkembangan psikologisnya.
Memang belum ada atau mungkin sudah ada penelitian khusus terkait ini, saya belum membaca secara langsung terkait hal ini. Satu hal yang pasti dari kenyataan di masyarakat bahwa perkawinan anak om itu tidak merupakan perkawinan ideal, karena selalu menimbulkan kecacatan fisik pada anak-anak.
Disinyalir bahwa hubungan darah yang terlalu dekat itulah yang menjadi penyebab kecacatan fisik. Benarkah demikian? Tentu butuh kajian medis yang lebih spesifik lagi.
1. Pencerahan Gereja: Keluarga dalam arti universal
Konsep dan gagasan tentang "keluarga universal" itu akhirnya diterima masyarakat adat. Secara khusus, gereja berperan memberikan pencerahan terkait hal ini, bahkan ada larangan perkawinan anak om.
Larangan itu, tentu berdampak juga pada praktek perjodohan secara tradisional itu.Ya, perlahan-lahan perjodohan secara tradisional itu ditinggalkan. Nah, praktek yang telah membudaya itu secara pastoral mulai dikaji lebih dalam dan berdampak pada budaya itu seperti tinggal cerita.
Sampai dengan saat ini, tidak ada yang protes atau tidak ada kajian lain. Karena itu, larangan dan pertimbangan Gereja hingga saat ini diterima dan dihormati.Â
Konsep tentang keluarga bukan saja dalam arti hubungan darah dan garis keturunan, tetapi keluarga dalam arti luar dengan siapa saja atau dengan semua orang. Wawasan inilah yang ditanamkan Gereja sehingga masyarakat tradisional bisa mengadaptasikan diri mereka dengan perkembangan modern.
2. Pergaulan sosial yang semakin terbuka