Usia 25 adalah usia penuh alternatif. Ya, sekurang-kurangnya ada serangkaian alternatif yang disusun dengan alur logika "jika dan maka." Jika alternatif ketiga itu yang terjadi, maka alternatif hidup mandiri itu yang mau tidak mau harus diperjuangkan.
Seperti apa dan bagaimana ide untuk hidup mandiri pada usia 25? Saat itu saya sedikit punya daya optimis dalam hati bahwa saya bisa hidup mandiri melalui bekal sarjana filsafat.
Meskipun jelas juga bahwa ada risiko merana dan merangkak dari bawah. Tapi itulah yang pernah terpikirkan. Menjadi mandiri itu berarti saya harus bekerja untuk memenuhi diri sendiri.
Pikiran yang menghibur adalah protes dalam pikiran terhadap diri sendiri. Masak sih, seusia ini tidak bisa hidup mandiri? Saya bisa menulis sedikit-sedikit, saya punya keterampilan foto, mungkin juga bisa bekerja di LSM, bisa juga menjadi guru agama di sekolah dasar.
Pikiran yang menghibur diri adalah asal dapat kerja saja cukup. Ya, tentu bekerja tidak sesuai dengan profesi. Â Mau bagaimana lagi, namanya mandiri bagi seorang anak petani, ya pasti tidak punya modal sendiri.
Modal satu-satunya adalah modal nekat dan berani untuk bekerja apa saja. Ya, modal tahan banting untuk melakukan pekerjaan apa saja. Itu prinsip untuk menjadi mandiri pada usia 25.Â
5. Alternatif hidup dengan profesi yang pasti
Tidak nyaman dengan bayangan hidup merangkak seperti pada alternatif keempat, ada lagi mimpi tentang melanjutkan studi master. Mengapa seperti itu?Â
Tentu karena situasi. Profesi menjadi pengajar pada 17 tahun lalu sekurang-kurangnya orang harus punya standar ijazah master. Ya, tentu dengan maksud bisa punya sedikit gaji yang cukup untuk hidup mandiri.
Nah, bagaimana untuk masuk sampai ke tingkat itu? Biaya selalu menjadi kendala utama. Pada usia 25 terkadang pikiran rancau, tetapi kadang juga terlalu berani.
Untuk memasuki tingkat master, terpikir bahwa tidak akan minta dari orangtua. Tidak akan lagi. Pada waktu, terpikirkan bahwa setahun atau dua tahun harus merantau ke Malaysia dulu.Â