Usia 25 tahun sama dengan usia penuh gairah dan gerah. Pada usia itu, emosi dan kematangan sungguh sangat labil. Peran otak dan pikiran seakan-akan menjadi segala-galanya.
Usia diambang pintu sebutan sebagai sarjana memang kadang tidak mudah. Bayangan, mimpi dan fantasi datang bertubi-tubi seperti tanpa pintu dan kancing masuk ke otak.
Mimpi berganti mimpi, cinta dan cita-cita silih berganti bagaikan gelombang di tepi pantai, sekali senyap dan sepi, kemudian deru pecah menggulung ke tepian hingga sunyi sepi sendiri.
Berubah-ubah mungkin itu  gambaran yang tepat untuk melukiskan dilema hati dan pikiran pada usia 25. Dunia ilmu yang dibumbui sejumlah teori tanpa pengalaman konkret.
Berlagak bisa segala, membayangkan hanya ada rasa mudah menemukan celah solusi untuk setiap kesulitan. Namun, terkadang babak belur oleh krisis-krisis kecil yang nyata dan menyayat hati.
Dunia yang idealis ditarik dalam pikiran seakan-akan nyata dan realistis. Ternyata itu omong kosong, hanya sebuah ilusi tanpa pernah tercebur dalam lumpur pengalaman.Â
Usia 25 bagi saya ternyata adalah sebuah kode tentang fakta hidup pada saat itu. 25 itu bukan cuma dua, tetapi 5 alternatif hidup. Ya, angka 25 menjadi angka kenangan.
Sebuah kenangan tentang fase hidup di mana ditemani kegalauan pilihan, diwarnai dengan dilema dan dialog intim dengan diri sendiri. Mustahil rasanya, namun itu telah menjadi sebuah kenyataan masa lalu yang pantas dikenang dan ditarik artinya.
Semula cuma dua pilihan: Menjadi pelayan dan sarjana
Usia sebelum 25 tidak bisa dilupakan dengan cerita hangat belajar, namun bukan cuma itu saja yang dikejar, tapi belajar untuk menjadi seorang pelayan. Karena itu pada usia sebelum 25, saya punya prinsip seperti ini, "Yang satu saya lakukan, tanpa mengabaikan yang lainnya."