Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Babi-Babi di Hutan Mati, Piton Masuk Kampung

7 Mei 2021   03:32 Diperbarui: 7 Mei 2021   10:24 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi para petani di desa-desa khususnya di wilayah pedalaman di Flores, musim berkebun setiap tahun selalu punya tantangan yang sama siang dan malam.

Tantangan paling sulit adalah bagaimana berjuang menjaga hasil tanaman mereka dari serangan hama binatang hutan. Hama yang paling mengancam hasil kebun para petani adalah babi hutan dan kera.

Kedua binatang hutan itu bagaikan bermain peran, satu untuk babak siang dan satunya untuk malam dengan sasaran yang sama merusakkan hasil tanaman para petani desa.

Hampir setahun ini, menurut informasi yang disampaikan oleh penduduk desa Kerirea bahwa ditemukan banyak sekali babi hutan yang mati tergeletak di hutan. 

Bahkan kebiasaan petani yang berjaga malam di kebun mereka, berhenti total karena hampir setahun ini tidak ada gangguan sama sekali. Mereka bahkan memastikan bahwa babi hutan semuanya sudah hilang dari hutan terdekat.

Kenyataan ini memang di satu sisi merupakan nafas legah bagi para petani. Bebas dari hama babi hutan bagi petani itu sama dengan suatu hadiah terindah seperti memberikan kesempatan kepada petani untuk kembali bersama dengan keluarga mereka di waktu siang dan malam di kampung halaman.

Sebaliknya pada sisi yang lain menyisakan ketakutan dan kegelisahan masyarakat desa. Mengapa penduduk desa menjadi takut? Ada 3 sebab ketakutan dan kegelisahan masyarakat desa: 

1. Kematian babi itu bukan saja terjadi di hutan, ternyata para petani yang beternak babi pun kena getahnya. Bahkan sekarang ini, populasi ternak babi di desa Kerirea menurun sangat drastis. Mungkin juga hal yang sama di alami di desa-desa tetangga lainnya.

2. Sebab dari kematian babi itu sampai sekarang tidak pernah diketahui. Uniknya bahwa kematian babi sangat mungkin menjadi sebab dari kematian binatang lainnya, seperti anjing dan ayam.

3. Hal lain yang tidak boleh dianggap sepele adalah kematian babi hutan akan berdampak pada kedatangan ular piton yang biasa hidup di hutan belantara dan menyantap mangsa babi. Cerita tentang ular piton masuk kampung dan memangsa ternak petani, sudah sering terjadi. 

Sangat masuk akal, jika populasi babi hutan yang adalah mangsa dari ular piton semakin sedikit, maka kemungkinan bagi ular piton berdatangan ke wilayah perkampungan.

Ini bukan kisah horor, tetapi sebuah kisah nyata yang memang pernah terjadi, namun tidak pernah dicari tahu bagaimana kepastiannya. Pertanyaan yang relevan saat ini: Apakah kematian babi  itu karena terkena serangan Covid-19 atau ada penyakit lain sejenis flu babi?

Bagaimana cara dan upaya pemerintah agar misteri kematian babi ini segera terungkap dan menjadi fenomena yang jelas dan pasti terkait penyebabnya.

Fenomena kematian babi ini tentu tidak ada kaitannya dengan babi ngepet yang pada beberapa waktu lalu sempat viral di media sosial. Fenomena kematian babi hutan di sekitar Desa Kerirea, Kecamatan Nangapanda itu terjadi hampir setahun ini. 

Sementara itu fenomena yang sama ternyata terjadi juga di tempat lain. Di Bali misalnya seperti dilansir CNN Indonesia (03/02/2020) ada ribuan babi dilaporkan mati tanpa diketahui penyebabnya. 

Klaim sementara sebagai penyebabnya adalah virus, namun virus apa dan bagaimana penularan dan seberapa daya jangkitnya sama sekali belum diketahui sampai saat ini.

Sementara itu, kematian babi juga terjadi di Palembang. Sebagaimana dilansir Kompas.com (03/7/2020) bahwa ada 878 ekor babi di peternakan Palembang dilaporkan mati. 

Dugaan yang disampaikan oleh ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PHDI) Cabang Sumatera Selatan adalah kematian ratusan babi itu karena terkena virus flu babi.

Nah, bagaimana dengan kenyataan kematian babi di hutan lindung desa Kerirea, Nangapanda, Ende, Flores, NTT? Apakah PHDI Cabang NTT sudah melakukan pengambilan sampel untuk mengetahui jelas penyebab kematian babi-babi itu.

Kemungkinan besar fenomena itu dianggap bisa, namun perlu diperhatikan bahwa jika penyebab kematian babi-babi itu dari virus, maka ada kemungkinan virus itu bisa juga berpotensi jangkit pada manusia.

Kendala yang tidak mudah bagi fenomena yang diangkat ini adalah babi-babi hutan. Ada begitu banyak babi hutan yang dilaporkan mati dan ditemukan di hutan.

Sudah pasti tidak ada yang menguburkan babi-babi itu sebagaimana layaknya di Palembang. Karena itu, potensi untuk penyebaran penyakit melalui binatang lain yang mungkin memakan bangkai itu menjadi sangat besar. 

Fenomena kematian babi hutan atau fenomena kematian babi di beberapa daerah di Indonesia itu perlu dikaji lebih jauh lagi. Alangkah baiknya, jika pihak PHDI serius menangani kematian babi-babi itu dan berusaha mengungkapan penyebab kematian babi-babi itu. 

Lebih dari itu, tentu perlu diperhitungkan hal-hal berikut ini:

1. Perlu diadakan pengadaan sampel untuk mencari tahu sebab kematian babi-babi di beberapa daerah di Indonesia.

2. Pengadaan vaksin untuk binatang-binatang ternak mungkin perlu dipikirkan meskipun prioritas saat ini adalah vaksin untuk manusia.

3. Pihak pemerintah desa mungkin perlu bekerja sama dengan museum wisata terkait penangkapan piton, agar piton-piton yang ditangkap masyarakat itu tidak dibunuh tetapi dilindungi oleh pihak museum wisata seperti taman wisata Jatim Park 2 Batu Malang. 

4. Kerja sama untuk kelestarian alam dan lingkungan hidup mesti menjadi tanggung jawab bersama semua pihak. 

Saya sungguh terinspirasi oleh karena pernah mengunjungi museum serangga (Spinen)di kota Frankfurt. Serangga-serangga itu sebetulnya cuma sedikit yang berasal dari Jerman, tetapi sebagian besar berasal dari Afrika dan Asia.

Nah, ternyata ketika dikumpulkan pada suatu tempat dan dijelaskan dengan nama dan ceritanya, maka serangga-serangga itu menjadi objek wisata yang dikunjungi ribuan orang.

Demikian juga, tentu berguna untuk kelestarian lingkungan alam kita, jika anak bangsa bisa punya gagasan seperti itu. Mungkinkah ke depan di setiap Provinsi ada museum dan kebun binatang, selain taman wisata yang terkenal saat ini? 

Penelitian-penelitian terkait jenis binatang yang hidup di hutan, bisa saja menjadi riset yang berguna. Saya yakin bahwa di pedalaman hutan lindung di seluruh Indonesia masih ada begitu banyak jenis binatang yang hidup di sana.

Demikian, beberapa ulasan tentang fenomena kematian babi di beberapa daerah di Indonesia dan percikan gagasan untuk kedepannya dengan visi ekologis untuk kelestarian lingkungan alam, tumbuhan dan hewan yang hidup di tanah air dan bangsa kita.

Salam berbagi, ino, 7.05.2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun