Wajah seram itu akhirnya menimbulkan kesan bahwa sangat temperamental. Pada suatu waktu seram pada pihak-pihak oposisi, sedangkan pada saat lain menjadi begitu ramah pada kelompok atau orang yang dulunya adalah pesaing atau oposisi.
Wajah media sosial terkadang mudah diubah dengan uang. Pena dan goresan jari yang kritis terkadang gampang tumpul saat tawaran dan bayaran di depan mata atau di atas meja.
Inikah yang diharapkan dari media sosial kita? Tentu tidak. Idealnya bahwa bisa saja tampilan wajah marah, seram, namun mesti ada alasannya yang berakar pada nilai-nilai dasar kehidupan manusia.
Orientasi keberpihakan mesti pada keadilan, kebenaran, kemanusiaan, kehidupan, lingkungan dan lain sebagainya. Singkatnya orientasi, visi pengguna media sosial mestinya tidak mengabaikan nilai-nilai dasar itu.
2. Wajah ramah ke dalam untuk jaga image
Wajah media Sosial sangat bergantung pada tema apa yang disoroti dan pada posisi mana pemilik media sosial itu sendiri. Umumnya, wajah media sosial itu ramah kalau terkait dengan foody, gaya hidup, lingkungan alam.
Media sosial yang dimiliki dengan visi dan misi untuk menginspirasi diri sendiri dan orang lain umumnya memperlihatkan wajah yang ramah. Keramahan dalam tutur kata dan opini-opini yang dipublikasikan.
Meskipun demikian, kenyataan membuktikan pula bahwa wajah media itu terlihat ramah, namun pemilik yang sebenarnya dalam keseharian terkadang tidak seramah dari yang terlihat di media sosial.
Mengapa demikian terjadi demikian?
Nah inilah yang perlu dibedakan antara urusan pribadi dan rumah tangga dengan urusan sosial. Ungkapan ramah ke dalam lebih dalam arti ramah dalam urusan rumah tangga, namun ketika muncul di media sosial, nyatanya sudah menjadi lain.Â
"Ramah ke dalam, seram ke luar" bisa dilihat dalam kenyataan sehari-hari jika diketahui pemilik media itu adalah institusi besar yang memiliki banyak karya dan banyak anggota.