Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

4 Solusi untuk Wajah Paradoks Pengguna Media Sosial: Antara Marah dan Ramah

6 Mei 2021   12:37 Diperbarui: 7 Mei 2021   14:21 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi untuk wajah paradoks pengguna media sosial diambil dari: artsper.com

Citra media sosial di Indonesia akan berubah, jika ada komitmen yang kuat dari pengguna media sosial pada nilai-nilai kehidupan. Ya, sebuah komitmen total dari pengguna media sosial pada keramahtamahan, keadilan, kebenaran dan kehidupan." 

Wajah media sosial bergantung pada wajah penggunanya. Namun apakah karakter pengguna media sosial sama dengan karakter aslinya, tentu adalah sebuah misteri yang selalu menyisakan pertanyaan.

Media sosial itu tidak terlepas dari tuntutan sosial. Tuntutan sosial itu bermacam-macam. Ada tuntutan yang harus sesuai dengan panggilan dan tugas seseorang, tetapi juga ada tuntutan yang memang sesuai standar etika media sosial umumnya.

Meskipun demikian, terlihat pula kenyataan bahwa sebagian orang tidak peduli dengan etika dan tuntutan sosial. Tidak heran media sosial sering disalahgunakan untuk penyebaran ujaran-ujaran yang diluar etika dan peradaban.

Oleh karena kenyataan yang berbeda-beda, yang ditemukan di media sosial terkait manusia atau "aku", maka saya melihat dua wajah media yang kadang silih berganti, bahkan bisa dikatakan, ya suatu wajah paradoks antara menjadi ramah dan menjadi marah:

1. Wajah marah karena ada kontrak kepentingan

Pembicaraan tentang media sosial sebenarnya tidak terlepas dari kepemilikan media sosial itu sendiri. Ya, terkait dengan hal yang paling konkret adalah akun-akun media sosial.

Namanya akun media sosial, maka sudah pasti pula pemilik akun media dikenal banyak orang, apalagi kalau pemilik itu media besar. Bahkan tidak jarang media sosial dan pemilik akun memperoleh penawaran untuk kepentingan tertentu.

Kontrak kepentingan itu tidak main-main lho. Biasanya ada janji dan bayaran yang besar. Ketika pemilik media sosial masuk ke dalam ruang kontrak kepentingan tertentu, maka otomatis wajah media itu berubah, yaitu seram untuk melawan kepentingan oposisi atau "seram ke luar."

Wajah marah ke luar itu tampak dari formulasi dan tanggapan-tanggapan terhadap realitas sosial yang bertentangan dengan kepentingan pengontrak. Nah, sampai pada tingkat seperti itu sebenarnya, media sosial itu terkadang kehilangan orientasi pada nilai kebenaran dan kejujuran. 

Wajah seram itu akhirnya menimbulkan kesan bahwa sangat temperamental. Pada suatu waktu seram pada pihak-pihak oposisi, sedangkan pada saat lain menjadi begitu ramah pada kelompok atau orang yang dulunya adalah pesaing atau oposisi.

Wajah media sosial terkadang mudah diubah dengan uang. Pena dan goresan jari yang kritis terkadang gampang tumpul saat tawaran dan bayaran di depan mata atau di atas meja.

Inikah yang diharapkan dari media sosial kita? Tentu tidak. Idealnya bahwa bisa saja tampilan wajah marah, seram, namun mesti ada alasannya yang berakar pada nilai-nilai dasar kehidupan manusia.

Orientasi keberpihakan mesti pada keadilan, kebenaran, kemanusiaan, kehidupan, lingkungan dan lain sebagainya. Singkatnya orientasi, visi pengguna media sosial mestinya tidak mengabaikan nilai-nilai dasar itu.

2. Wajah ramah ke dalam untuk jaga image

Wajah media Sosial sangat bergantung pada tema apa yang disoroti dan pada posisi mana pemilik media sosial itu sendiri. Umumnya, wajah media sosial itu ramah kalau terkait dengan foody, gaya hidup, lingkungan alam.

Media sosial yang dimiliki dengan visi dan misi untuk menginspirasi diri sendiri dan orang lain umumnya memperlihatkan wajah yang ramah. Keramahan dalam tutur kata dan opini-opini yang dipublikasikan.

Meskipun demikian, kenyataan membuktikan pula bahwa wajah media itu terlihat ramah, namun pemilik yang sebenarnya dalam keseharian terkadang tidak seramah dari yang terlihat di media sosial.

Mengapa demikian terjadi demikian?

Nah inilah yang perlu dibedakan antara urusan pribadi dan rumah tangga dengan urusan sosial. Ungkapan ramah ke dalam lebih dalam arti ramah dalam urusan rumah tangga, namun ketika muncul di media sosial, nyatanya sudah menjadi lain. 

"Ramah ke dalam, seram ke luar" bisa dilihat dalam kenyataan sehari-hari jika diketahui pemilik media itu adalah institusi besar yang memiliki banyak karya dan banyak anggota.

Persoalan yang terjadi terkait dengan anggota, umumnya terlihat ramah dalam pemberitaan bahkan kadang disembunyikan meskipun sungguh layak dan pantas untuk diberitakan.

Coba seandainya persoalan dengan tema yang sama terjadi di luar tubuh institusi pemilik media, maka bahkan berita terkait persoalan itu bisa masuk kategori viral.

Fleksibilitas media kadang sangat bergantung pada kepentingan pemilik. Apalagi pada saat ini, siapa saja boleh memiliki akun media sosial sendiri. Orang juga bisa bebas untuk bicara apa saja.

Tantangan untuk transformasi wajah media sosial

Bagaimanapun wajah ganda atau bahkan paradoks wajah media sosial itu terhubung dengan kualitas kepribadian penulis dan jurnalis yang menguasai media sosial.

Karena itu, sangat disayangkan, bahwa pada saat kebebasan untuk menyalurkan pendapat sungguh dijamin,  muncul pula media yang melacurkan diri sekedar untuk mendapatkan uang. 

Fakta dan data, konteks yang sebenarnya akan dibungkus rapi, karena media itu sendiri harus menjadi alat promosi kepentingan penguasa atau pemilik kontrak.

Dalam kasus-kasus seperti itu, sebenarnya kualitas media sosial memang sungguh memprihatinkan. Masih banyak pekerja media di media sosial online khususnya yang bekerja dengan harapan memperoleh rayuan dengan bayaran dan kontrak kepentingan.

Target untuk popularitas diri dan melindungi diri dari penyimpangan pemakaian anggaran dan lain sebagainya merupakan bungkusan rapi yang dibalut bersama antara pihak pengontrak dan pihak jurnalis.

Nah, sampai kapan jurnalis itu baru bisa menyuarakan kebenaran, fakta dan realitas yang akan dipublikasikan di media sosial? Kualitas diri penulis dan jurnalis semestinya menjadi modal dasar yang betul-betul harus kuat.

Karakter dan peradaban suatu bangsa bisa dilihat dari wajah media sosialnya.

Bagaimana wajah media bisa diubah?

Ada 4 solusi yang mungkin penting dipikirkan oleh pemerintah dalam hal ini, pihak kementerian komunikasi dan informasi dan juga setiap pengguna media sosial:

1. Perlu memiliki sistem khusus yang bisa mengontrol semua akun-akun media sosial yang bisa dikatakan tidak layak untuk dikonsumsi publik. Rupanya saat ini dari kementerian komunikasi sudah memiliki program dan gebrakan itu. Untuk hal seperti itu, patut diberikan apresiasi.

2. Pendidikan etika dalam pemakaian media sosial mungkin perlu dipikirkan sebagai mata pelajaran yang perlu diberikan sejak dini atau sejak sekolah dasar (SD) Dalam hal ini mungkin perlu ada rencana bersama dengan menteri pendidikan dan riset. 

3. Wawasan tentang keramahtamahan dan pergaulan sosial, bahkan bagaimana menggunakan media, mesti sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari pendidikan nonformal, ya sejak dari rumah juga harus diberikan.

4. Pendidikan tentang jurnalisme perlu menjadi mata kuliah wajib pada setiap universitas sekurang-kurangnya satu atau dua semester. Mengapa? Banyak sekali jurnalis tanpa punya bekal studi khusus sebagai jurnalis. 

Bayangkan sarjana olahraga, sarjana ekonomi kemudian menjadikan diri sebagai seorang wartawan. Saya tidak membatasi kebebasan dan minat orang, namun alangkah baiknya orang-orang yang memiliki minat ke arah itu, perlu belajar terkait etika dan tata kramanya dulu.

Konsekuensi yang terlihat nyata adalah bibit dari tanpa bekal menjadi wartawan adalah akun bohong yang menutupi apa yang benar ada dan terjadi di masyarakat.

Meskipun demikian, umumnya media-media besar di Indonesia mempertahankan visi dan nilai-nilai kehidupan, bahkan memperlihatkan wajah keberpihakan yang sangat jelas.

Tentu, arah dari tulisan ini lebih berfokus pada pengguna akun media sosial pribadi yang masih jauh dari standar mendukung peradaban bangsa dan nilai-nilai kehidupan.

Demikian ulasan tentang wajah paradoks pengguna media sosial yang akhirnya berdampak pada wajah media sosial itu sendiri. Marah dan ramah berganti sesuka hati sesuai arah keinginan pengguna dan bayaran penguasa dan pemilik modal. 

Tentu bukan itu yang diharapkan dari media sosial di Indonesia. Karena itu, perlu diperhatikan 4 solusi di atas agar transformasi wajah media sosial bisa menjadi lebih baik dan para pengguna media sosial bisa lebih bertanggung jawab dalam menggunakannya.

Salam berbagi, ino, 6.05.2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun