Daya dari hukum mesti bisa menyatukan manusia untuk hidup dalam Firdaus kedamaian dan kerukunan.Â
Namun, Firdaus seperti itu tidak boleh dibangun hanya oleh kekuatan rasional manusia, tetapi mungkin juga dengan keyakinan akan energi alam di mana manusia hidup dan berpijak.
Cerita tentang hubungan persaudaraan dengan saudara dari ibu tiri selalu merupakan kisah yang tidak bisa dipandang sederhana. Sebutan ibu tiri saja sudah punya konotasi yang bermacam-macam, bahkan sebagian orang langsung berpikir negatif.Â
Nah, apalagi tentang anak dari ibu tiri. Bayangkan tentang kesulitan, konflik dan perselisihan dalam rumah dengan punya banyak anak. Banyak anak tentu punya konsekuensi logisnya, juga banyak kepentingannya.Â
Apa saja akar dari sibling rivalry dan bagaimana mengatasinya?
Bicara tentang kepentingan, itu sebetulnya masih terlalu umum, konkretnya terkait warisan dan pembagian hak yang adil antara anak dari istri pertama dan istri kedua. Umumnya anak dari istri pertama selalu merasa punya hak otomatis karena merasa hadir lebih dahulu di rumah.Â
Rasa lebih memiliki sang ayah, rasa punya andil lebih dari anak istri kedua selalu menjadi rasa yang memicu perselisihan.Â
Pengalaman konkret keluarga saya sungguh tidak mudah, yakni ketika sang ayah meninggal dunia sedangkan anak dari istri pertama dan anak istri kedua sama-sama besar dan punya keinginan mendapatkan warisan yang sama.Â
Sungguh tidak mudah untuk kasus yang satu ini. Â Saling mengancam, bertengkar dan berontak selalu menjadi warna dari perselisihan mereka.Â
Saudara yang paling tua dari istri pertama tentu tidak bisa mengalah begitu saja, sementara saudara dari ibu tiri juga tidak mau mengalah. Landasan argumen mereka sama, semua itu warisan sang ayah, kenapa saya gak boleh dapat?
2. Hubungan kedekatan yang tidak seimbang antara sang ayah dengan anak-anak istri pertama
Warisan dan pembagian hak bukanlah akar tunggal dari sibling rivalry khusus dalam konteks cerita dalam ulasan ini. Pembagian warisan dan hak semestinya harus jelas sejak sang ayah masih hidup. Tentu tidak mudah, kalau sang ayah terkesan lebih dekat dengan ibu tiri dan anak-anaknya.Â
Nah, kedekatan yang tidak merata dan seimbang itu bisa menjadi faktor penyebab sibling rivalry bukan saja anak pertama berhadapan dengan anak-anak dari ibu tiri,  tetapi juga anak dari istri pertama dengan sang ayahnya sendiri.
Sang ayah di mata anak dari istri pertama adalah ayah yang tidak adil, karena hanya berpihak pada anak-anak dari istri keduanya. Pertengkaran terjadi selanjutnya seperti tanpa akhir, hingga sang ayah meninggal dunia.Â
Detik-detik terakhir sang ayah masih terlihat marah pada anak sulungnya, ya bisa dikatakan tidak ada kata maaf. Kematian bisa menjadi akhir dari suatu pertengkaran mereka.Â
Meskipun demikian, kematian itu bukan merupakan jalan terbaik untuk anak-anaknya. Kematian sang ayah yang tidak meninggalkan pembagian warisan yang jelas pada anak-anak selalu merupakan duri dalam daging.Â
Pertanyaannya, apakah anak sulung dari istri pertama langsung mengambil seluruh hak warisan ayahnya? Bagaimana mengurus pembagian harta khususnya kebun garapan yang sudah ditanami cengkeh, kopi dan kemiri dari usaha sang ayah? Rumit bukan?Â
Konteks sibling rivalry dalam cerita ini tidak semudah membalik telapak tangan. Atau seperti gara-gara pertengkaran kecil, lalu bisa didamaikan lagi saat dipanggil sang ayah dan mengajak, ayo saling meminta maaf sebagai solusinya.Â
Pengalaman menunjukkan bahwa penyelesaian dalam konteks sibling rivalry seperti itu membutuhkan waktu dan energi, tentu tidak hanya mereka kakak beradik, tetapi saudara sepupu mereka terpaksa ikut memikirkan dengan maksud agar sibling rivalry segera berakhir atau bisa berubah menjadi sibling without rivalry.Â
Sibling rivalry dengan anak tiri  terkait harta warisan dan hak panen hasil tanaman sang ayah memang tidak cukup dengan ajakan seperti rekonsiliasi.Â
Istilah itu terdengar indah, namun dengan cara seperti apa dan dengan kekuatan kata-kata yang bagaimana, sehingga rekonsiliasi itu memiliki daya ubah yang memiliki bias rukun dalam hidup sehari-hari.
Solusi hukum adat "Pore Jaji"
Solusi hukum adat "Pore Jaji" sebenarnya bukan solusi pertama yang ditemukan dalam konteks persoalan di atas, melainkan solusi yang terakhir yang ditempuh setelah solusi alternatif lainnya, yang ternyata mental tak berdaya.Â
Karena itu, saya lebih tertarik dalam ulasan ini untuk membahas kekuatan dari solusi hukum adat "Pore Jaji" itu sendiri dalam kaitan dengan sibling rivalry antara anak tiri dan anak sulung istri pertama.Â
Solusi hukum adat "Pore Jaji" sebetulnya tidak hanya relevan untuk peristiwa seperti dalam cerita di atas, tetapi dalam pertengkaran lainnya seperti masalah tanah bisa juga menggunakan solusi hukum adat "Pore Jaji."
Meskipun demikian "Pore Jaji" dikenal dalam konteks masyarakat adat Ende Lio atau mungkin dengan lafal dan dialek yang sedikit berbeda.Â
Dalam konteks suku Paumere kata "Pore Jaji" bisa diartikan sebagai sumpah janji. Sumpah janji adat itu bagi masyarakat adat merupakan suatu instrumen sosial yang memiliki daya ikat dan konsekuensinya.Â
Mengapa solusi hukum adat "Pore Jaji" diterima dan dihormati?
Ada 2 alasan:
1. Daya dari hukum adat berhubungan dengan kekuatan kata-kata yang menjadi formula tetap secara adat
Formula yang dipakai dalam "Pore Jaji" sebetulnya beragam tergantung dari konteks persoalannya apa. Saya fokus saja pada sibling rivalry dalam konteks yang saya angkat di atas.Â
Formulasi yang terkait pembagian warisan dan hak garap atau hak panen warisan sang ayah itu seperti ini dalam tutur adat aslinya,"Jao pati iwa ka zai, jao tii iwa ka wiki."Â
Dua ungkapan ini hanya punya satu arti yakni, "apa yang telah saya berikan, tidak akan saya ambil kembali." Jadi, logika dari "Pore Jaji" itu sendiri sebenarnya menafikan do ut des atau memberi sambil mengharapkan untuk dapatkan kembali sesuatu dari yang menerima.
Sumpah janji itu dilakukan bersama dengan warga masyarakat dan dihadiri oleh pemangku adat setempat. Kehadiran warga dan pemangku adat adalah otomatis sebagai saksi dari "Pore Jaji" itu.Â
Solusi adat melalui hukum adat "Pore Jaji" itulah yang pernah keluarga selenggarakan untuk mengatasi sibling rivalry antara anak sulung istri pertama dan anak tiri. Kenyataan menunjukkan bahwa sejak saat itu rukunlah hubungan anak sulung dan anak tiri.Â
Mereka bahkan seperti menemukan kembali sebuah rumah baru dengan atap yang satu dan sama, di bawah perlindungan kasih sayang sang ayah yang telah meninggalkan mereka. Pelukan dan tangisan pada momen "Pore Jaji" sekaligus menjadi awal baru bagi hidup mereka.
2. Konsekuensi atas pelanggaran itu tidak merupakan sanksi fisik dari pemangku adat, tetapi langsung diyakini sebagai sanksi dari alam
Konsekuensi langsung dari alam itulah yang menjadi semacam efek jera bagi mereka untuk tidak terus berseteru tiada akhirnya. Konsekuensi apa saja yang biasanya terjadi sebagai akibat dari pelanggaran "Pore Jaji."Â
Sulit untuk didefinisikan secara pasti, karena hal itu lebih menyangkut ranah keyakinan masyarakat adat dalam hubungan dengan alam.Â
Hanya ada kemungkinan-kemungkinan yang dibicarakan dalam tutur keseharian masyarakat bahwa ada yang tersambar petir, ada yang gagal panen, ada yang dalam rupa menderita penyakit yang aneh, susah disembuhkan.Â
Ya, wilayah ini sedikit irasional, namun tetap ampuh menjaga keutuhan dan kerukunan hidup masyarakat adat.
Umumnya masyarakat lebih memilih taat pada "Pore Jaji" itu, daripada mencoba-coba melanggar. Karena itu, saya sendiri merasa bersyukur bahwa dalam konteks masyarakat adat suku Paumere, masih adanya keyakinan adat dan pegangan hukum adat yang kuat seperti itu.Â
Ya, sebuah solusi hukum adat yang kelihatan tradisional, tetapi memiliki daya ubah yang efektif untuk kehidupan yang rukun, bukan cuma sebagai saudara, tetapi juga bisa dalam konteks kehidupan lain yang menunjang kejujuran seseorang.
Dalam konteks tertentu "Pore Jaji" itu tidak dilakukan di dalam rumah, tetapi pada tempat yang ditentukan oleh pemangku adat suku. Tempat itu diakui oleh semua sebagai suatu tempat sakral atau locus sakral.Â
Di sana akan ditemukan batu panjang yang ditanam dengan posisi berdiri, jauh lebih tinggi dari yang lainnya.Â
Batu itu dinamakan Tubu Musu atau batu yang merupakan tanda istimewa dari makam seorang pemangku adat sejak dari dulu kala. Tentu, nilai sakralitas itu lebih secara kultural dan alam dan bukan dalam konteks spiritual religius tertentu.
Keyakinan budaya itu terlihat masih sangat kuat berfungsi sebagai instrumen pemersatu, bahkan pemurni dari realitas yang terjadi dan tidak dinyatakan secara jelas.Â
Uniknya bahwa keterbatasan sisi keyakinan mereka, ditopang oleh alam. Â Alam yang menyatu dengan kata-kata janji mereka. Alam bisa menjadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan irasional.Â
Kata akhir
Demikian kisah sibling rivalry antara anak sulung dari istri pertama dan anak tiri yang semula berbuntut tiada titik terang setelah kematian sang ayah mereka.Â
Namun solusi hukum adat "Pore Jaji" telah menolong mereka untuk kembali menemukan Firdaus, alam kebahagiaan dan kerukunan sebagai saudara dari sang ayah yang satu dan sama. Betapa bahagianya mereka sekarang hidup sebagai saudara.Â
Daya dari hukum mesti bisa menyatukan manusia untuk hidup dalam Firdaus kedamaian dan kerukunan. Namun, Firdaus seperti itu tidak boleh dibangun hanya oleh kekuatan rasional manusia, tetapi mungkin juga dengan keyakinan akan energi alam di mana manusia hidup dan berpijak.
Salam berbagi, ino, 9.04.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H