Solusi hukum adat "Pore Jaji"
Solusi hukum adat "Pore Jaji" sebenarnya bukan solusi pertama yang ditemukan dalam konteks persoalan di atas, melainkan solusi yang terakhir yang ditempuh setelah solusi alternatif lainnya, yang ternyata mental tak berdaya.Â
Karena itu, saya lebih tertarik dalam ulasan ini untuk membahas kekuatan dari solusi hukum adat "Pore Jaji" itu sendiri dalam kaitan dengan sibling rivalry antara anak tiri dan anak sulung istri pertama.Â
Solusi hukum adat "Pore Jaji" sebetulnya tidak hanya relevan untuk peristiwa seperti dalam cerita di atas, tetapi dalam pertengkaran lainnya seperti masalah tanah bisa juga menggunakan solusi hukum adat "Pore Jaji."
Meskipun demikian "Pore Jaji" dikenal dalam konteks masyarakat adat Ende Lio atau mungkin dengan lafal dan dialek yang sedikit berbeda.Â
Dalam konteks suku Paumere kata "Pore Jaji" bisa diartikan sebagai sumpah janji. Sumpah janji adat itu bagi masyarakat adat merupakan suatu instrumen sosial yang memiliki daya ikat dan konsekuensinya.Â
Mengapa solusi hukum adat "Pore Jaji" diterima dan dihormati?
Ada 2 alasan:
1. Daya dari hukum adat berhubungan dengan kekuatan kata-kata yang menjadi formula tetap secara adat
Formula yang dipakai dalam "Pore Jaji" sebetulnya beragam tergantung dari konteks persoalannya apa. Saya fokus saja pada sibling rivalry dalam konteks yang saya angkat di atas.Â
Formulasi yang terkait pembagian warisan dan hak garap atau hak panen warisan sang ayah itu seperti ini dalam tutur adat aslinya,"Jao pati iwa ka zai, jao tii iwa ka wiki."Â