Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mungkinkah 3 Ritus Penting pada Tri Hari Suci Diabaikan?

1 April 2021   14:32 Diperbarui: 2 April 2021   11:13 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita tentang Paskah tahun 2021 merupakan cerita istimewa yang mungkin akan dikenang secara khusus umat Kristiani sepanjang masa. Tentu, menurut penulis ada 2 alasan, mengapa Paskah 2021 menjadi istimewa: 

1. Paskah yang diperkenankan untuk dirayakan secara langsung

Keistimewaan ini punya alasan karena pada Paskah tahun lalu, umat Kristiani tidak diperkenankan untuk merayakannya secara bersama dengan umat kecuali secara virtual. 

Tahun ini, sekurang-kurangnya yang saya tahu di Jerman misalnya, Paskah diizinkan untuk dirayakan secara langsung bersama dengan umat. 

Meskipun demikian, konsep tentang Protokoll kesehatan tetap berlaku dan beberapa kebijakan khusus lainnya harus tetap diterapkan seperti pembatasan jumlah orang dalam suatu ruang, larangan untuk menyanyi, duduk atau berdiri harus dengan jarak tertentu, selalu menggunakan masker selama di dalam gereja. 

Beberapa persyaratan itu tampak merepotkan, namun bagi kebanyakan umat Kristiani di Jerman, adalah lebih baik seperti itu, daripada tanpa diberikan perizinan untuk merayakan langsung Paskah seperti pada tahun 2020 lalu. Suasana kebangkitan Kristus akan dirayakan, tentu dengan suasana dan cara yang berbeda.

2. Desain acara Tri Hari Suci dirancang sedikit lebih sederhana sambil mempertimbangkan aspek solidaritas 

Desain perayaan Tri hari Suci dirancang menjadi lebih sederhana dengan memperhatikan aspek solidaritas dan kemanusiaan. Demikian Tri Hari Suci dan Tiga Peniadaan Ritusnya:

1. Desain Acara Kamis Putih tanpa Pembasuhan Kaki

Pada hari ini, semestinya ada Ritus pembasuhan kaki. Ritus ini mengenang Yesus membaptis kaki para murid-Nya untuk menandai kerendahan hati dan kelemahlembutan-Nya dalam melayani. Ia Mahapengasih, mengasihi semua termasuk Yudas yang akan menyangkal-Nya. 

Perayaan Kamis Putih dirayakan secara sederhana tanpa Ritus itu, karena Ritus pembasuhan kaki itu, pemimpin perayaan harus berhubungan dengan orang lain dan air untuk membasuh kaki. Oleh karena pertimbangan kesehatan, maka Ritus ini kami tiadakan. Sebagai ganti, kami menyiapkan waktu hening pada saat itu. 

Ketiadaan Ritus bukan berarti Ketiadaan pesan. Pesan dari tiadanya Ritus pembasuhan kaki tetap sama yakni bahwa Yesus memberikan diri-Nya secara total. 

Tentu pesan seperti ini bisa dilihat secara berbeda dengan rumusan yang berbeda pula, kalau dikaitkan dengan konteks kehidupan yang lebih aktual seperti saat ini, situasi pandemi.  Solidaritas dalam rupa penyerahan diri yang total itu, tentu lahir dari hati yang hening. 

Momen penting pada Kamis Putih ini berkaitan erat dengan hari perjamuan akhir yang diadakan Yesus bersama para murid-Nya, yang diwariskan hingga sekarang melalui kata-kata ini: "Lakukan ini untuk mengenangkan daku." 

Menariknya bahwa biasanya pada hari Kamis Putih, ada suatu perjamuan makan bersama, yang disiapkan makanan yang khusus dan pasti enak di komunitas. 

Namun, pertemuan bersama kami akhirnya menjadi sedikit berbeda karena tekanan refleksi solidaritas dengan umat manusia yang tidak punya makanan, tidak punya rumah, bahkan tidak bisa berkumpul bersama keluarga karena harus isolasi mandiri, ya bahkan bisa saja tanpa makanan yang cukup. 

Ritus dan kebiasaan kami ubah dengan aksen pesan solidaritas nyata. Kami memberikan aksi solidaritas secara konkret berupa uang untuk disumbangan kepada para pengungsi, dan orang lain yang tidak punya cukup makanan dan hidup dari meminta-minta. Aksi seperti itu, bahkan dilakukan secara teratur kepada orang-orang susah di Kamerun.

Solidaritas adalah pesan kunci yang kami refleksikan pada momen perjamuan persaudaraan Yesus dan murid-murid-Nya pada hari ini. Dari sisi ini, sebenarnya situasi Covid-19 telah juga membuka mata kami untuk melihat dunia dan kehidupan dunia ini secara baru, di mana solidaritas universal memang sangat dibutuhkan dan begitu penting saat ini. 

Setiap hari selalu saja ada orang yang kehilangan pekerjaan datang meminta ukuran tangan solidaritas. Ya, sukacita perjamuan mesti juga bisa diarahkan kepada "orang lain" yakni,  mereka yang lapar, sakit, stress, dan lain sebagainya. 

2. Desain Acara Jumat Agung tanpa Cium Salib

Ritus-Ritus khusus yang biasa dilakukan dipertimbangan lagi pelaksanaannya, karena ada hal-hal lain atau tuntutan Protokoll kesehatan banyak orang. Kesehatan, keselamatan orang lain dan kebanyakan tetap merupakan pesan penting dari hari Jumat Agung. 

Solidaritas terhadap kehidupan dan situasi dunia menjadi lebih konkret dan menyentuh. Semalam saya menyaksikan warta berita tentang aksi kekerasan yang terjadi di Amerika kepada orang-orang Asia. Bahkan teman saya sempat berpesan seperti ini, "kamu harus hati-hati di jalan" Mengapa? Di Jerman juga masih banyak sekali orang Amerika. 

Refleksi yang penting dari perayaan Jumat Agung itu adalah ketiadaan ritus cium salib. Ritus itu kami ganti dengan saat hening dan doa dengan gambaran singkat tentang dunia saat ini, seperti pandemi, rasisme dan terorisme. 

Berita aktual saat ini berkaitan dengan tiga hal itu, maka kami mengungkapkan solidaritas kami secara konkret dengan merenungkan itu dan membunyikan suara gong 3 kali pada setiap momen permenungan terkait situasi global saat ini. 

Gong atau lonceng itu menjadi saat kenangan, bukan saja kenangan akan sengsara dan kematian Yesus, tetapi juga kenangan kematian hati nurani dan kepedulian manusia kepada sesamanya di bumi ini. 

Selain itu, lonceng peringatan bahwa solidaritas universal atau seperti ajakan Paus Fransiskus dalam ensikliknya tentang Fratelli tutti pada bulan Maret 2020 lalu. "Kita semua adalah saudara dan saudari." Sebuah lonceng peringatan, kami bunyikan agar pesan solidaritas universal itu bergema kepada semua. 

Ketiadaan ritual cium salib, bukan berarti tanpa kreativitas lainnya yang juga syarat pesan. Aksen pesan konkret dari suatu perayaan Jumat Agung, justru terasa lebih relevant dan dinamis, daripada suasana sebelumnya yang selalu sama bahkan tanpa refleksi yang greget pada situasi dunia saat ini. 

3. Desain Acara Sabtu Suci tanpa Ritus Perecikan Air Baptis

Dalam banyak tulisan dan refleksi, bisa ditemukan gagasan baru yang lahir dalam masa pandemi ini. Sekurang-kurangnya orang tidak bisa memaksakan kultur dan tradisi religius itu sebagai suatu keharusan dalam tata pelaksanaannya. 

Nah, dari situ orang belajar melihat celah untuk menemukan kemungkinan baru tanpa kehilangan pesan utama, yang penting untuk kehidupan. 

Biasanya kami menyiapkan sebuah kendi besar yang berisi air untuk ritus pembaptisan, namun kali ini, ritus itu hanya bisa dilakukan secara simbolis oleh imam pemimpin perayaan dengan nyanyian aspergesme atau suatu atipon latin yang diiringi dengan perecikan air . Setelah ritus pemberkatan air baptis, air itu dipercikan juga secara simbolis kepada umat. 

Simbol dan pesan dari pembaharuan janji baptis tidak akan hilang, bahwa setiap orang yang dibaptis dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus akan menjadi murid-Nya. 

Pesan menjadi murid itu penting, namun alangkah jauh lebih penting lagi, kalau orang yang sudah dibaptis menjadi murid yang solider di tengah dunia ini. Pesan kasih, sukacita dan solidaritas adalah pesan khas dari perayaan Sabtu Suci. 

Ajakan untuk Paskah tidak bisa dapat dipisahkan dari ajakan untuk mencintai bangkit memulai hidup dengan cara yang lebih ramah mencintai kehidupan bukan sebaliknya bunuh diri atau teror.

Pesan Sabtu Suci menjadi sangat relevan saat ini, apalagi di tengah situasi seperti di Indonesia saat ini. Peristiwa bom bunuh diri di depan gereja Katedral Makassar, lalu serangan teroris di Mabes Polri kemarin, tetap saja merupakan tantangan bersama bangsa ini, apakah mungkin kita hidup tanpa rasa takut dan curiga? 

Atau mungkinkah warna khas Paskah itu menjadi nyata? Mungkinkah sukacita ini dibagikan kepada orang lain? Mungkinkan di tengah pandemi dan hawa teror yang hangat ini, orang berbagi salam damai? 

Semuanya menjadi tidak mudah, namun hidup seseorang tidak harus berdasarkan pada apa kata orang. Hidup dalam semangat solidaritas dan berbagi dengan orang lain bagi penulis jauh lebih penting dari aneka ritus yang dilakukan tanpa refleksi dan aksi langsung yang pro life. 

Ritus perayaan Tri Hari Suci itu sangat penting, namun kesehatan dan keselamatan manusia harus menjadi pilihan dan alasan utama. 

Karena itu, pada akhir dari tulisan ini, saya mau menyimpulkan bahwa Paskah 2021 adalah Paskah yang diwarnai dengan ketiadaan 3 ritus penting. 

Paskah yang diwarnai dengan suasana khusus karena umat Kristiani tidak merayakan semuanya seperti sebelum pandemi, tetapi Paskah 2021 adalah Paskah Solidaritas yang unik dalam pesan dan refleksinya bagi solidaritas universal.  

Ritus tanpa kasih, itu tidak ada gunanya. Kasih dan solidaritas tanpa ritus, masih bisa dipahami arti dan maknanya.

Salam berbagi, Ino, 1 April 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun