Pernah gak, kebayang: apa jadinya suatu bangsa tanpa petani?Â
Akhir Maret berubah jadi saat penuh rindu. Rindu yang sama datang setiap tahun. Petani-petani desa di pedalaman Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Flores NTT dengan penuh rindu menantikan saat panen padi.Â
Ada 3 alasan mengapa petani desa itu rindu menyambut musim panen padi:
1. Petani bisa melihat hasil usaha mereka sebagai suatu keindahan yang menjanjikan di depan mata
Sebagian anak desa, saya pernah merasakan hal ini. Tentu dari pengalaman saya sendiri dulu. Saya selalu bertanya pada ibu saya, kapan saat mengetam tiba. Sepulang sekolah saya berlari-lari menuju ke kebun, tempat kedua orangtua bekerja.Â
Rindu saya waktu itu campur aduk. Rindu berjumpa dengan keluarga khususnya bapa, mama dan saudara-saudara saya. Tapi juga rindu bicara tentang datangnya musim panen.Â
Menantikan musim panen itu merupakan saat menumpuk rindu. Ya, sebagai petani desa ada rupa-rupa kerinduan: rindu makan bubur dari beras merah yang aromanya asli wangi, rindu bermain di atas gurami padi bagi anak-anak mereka, rindu meniup terompet dari batang padi.Â
Oh, kenapa ya, sekarang juga jadinya rindu menikmati bubur nasi merah khas buatan ibu. Saya jadi rindu juga sih berdiri di ketinggian sambil meniup terompet padi. Ya, nostalgia masa lalu yang selalu ada di hati dan ingin sekali merasakan, ya kembali masa-masa indah itu.Â
2. Rindu memperoleh kelimpahan hasil
Saat menantikan musim panen, entah kenapa ibu saya sering bercerita tentang ritual kecil saat panen pertama dan maksud dibuatnya ritual. Ritual itu sangat sederhana yakni cuma semacam doa awal sebelum panen dengan ujud semoga panenan berlimpah hari ini.Â
Ritual doa permohonan itu hanya dilakukan oleh ibu, gak tahu kenapa. Mungkin karena cerita Dewi Padi. Ah mungkin juga sih, ibu saya pernah juga cerita tentang itu. Saya sih percaya saja bahwa ibu punya cara dan keyakinan sendiri pada Tuhan. Ibu saya melakukan itu dengan setia setiap pagi sebelum mengawali proses mengetam padi.Â
Bagi petani tradisional, mengetam padi itu merupakan saat yang tidak bisa dipisahkan dari pengakuan akan adanya wujud Tertinggi. Wujud Tertinggi itu bagi mereka adalah pemberi kebaikan bagi segala usaha mereka. Karena itu, tidak heran sebenarnya upacara sebelum dan sesudah panen setiap hari dilakukan dengan teratur. Nah, itulah namanya keyakinan bagi mereka, harus dilakukan dengan kesetiaan yang berakar pada hati.Â
3. Rindu bernyanyi bersama
Kebiasaan yang hampir hilang adalah bernyanyi saat mengetam padi. Kebiasaan itu bahkan punya nama sendiri yang disebut sebagai JENDA. Jenda adalah suatu nyanyian bersama sekelompok orang pada saat mengetam padi. Nyanyian itu tanpa teks dan juga tanpa tangga nada. Syair nyanyian itu semua dalam bahasa daerah (bahasa Ende).Â
Mengetam sambil bernyanyi, bagi petani tradisional merupakan sarana persaudaraan dan juga seperti suatu nyanyian perjuangan. Ya, sebuah nyanyian tradisional yang dinyanyikan bersama-sama tanpa ada sekat pemisah suara. Namun, kemerduan di tengah hutan belantara, dengan panorama kuning, hijau, alam yang sejuk dan hangat, semua paduan itu bagi saya menjadi semacam suatu momen romantis ala petani desa.Â
Ternyata, petani-petani desa itu mampu menciptakan keindahan, mereka mampu menciptakan akord yang memberi nuansa kemerduan suara secara bersama-sama. Saya ingin sekali mendengar lagu Jenda. Andaikan nanti masih punya kesempatan untuk mengetam padi suatu hari nanti, saya ingin menulis syair lagu dalam bahasa ibu itu.Â
Bagaimana cara petani desa mengetam padi?Â
Para petani desa tidak pernah mengenal namanya mesin perontok padi. Jadi, petani desa selalu mengetam secara manual dengan menggunakan pisau kecil seperti memotong tangkai bulir padi.Â
Demikian juga proses selanjutnya untuk merontok biji padi dari tangkai bulirnya, mereka harus menginjak dan menggosokan setumpuk padi itu dengan kaki mereka. Proses ini memang tidak mudah, karena bisa membuat telapak kaki seperti luka dan kepedasan.Â
Ya, berani secara manual itu tidak mudah. Namun bagi petani desa, hal seperti itu sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, karena mereka melihat cara sederhana itu adalah warisan leluhur mereka. Melakukannya lagi sama dengan menghormati cara dan warisan leluhur mereka.Â
Ada juga petani yang kreatif, melalui proses merontokkan padi itu bersama-sama dengan teman-teman seakan-akan menari di atas hasil panenan. Ya, sebuah proses yang sehat, karena bisa saja melompat, menginjak di atas pondok kecil yang sedikit lebih tinggi. Pondok itu dibuat secara khusus agar biji padi bisa jatuh ke kolomnya, lalu serbuk sekam bisa langsung dibersihkan oleh angin. Karena itu, tidak heran pondok itu dibuat lebih tinggi dari biasanya tiangnya sekitar 2 meter.Â
Proses seperti ini sederhana, tetapi efektif karena para petani menggunakan tenaga angin untuk membantu proses pembersihan biji padi dari debu sekam. Kagum juga sih, bagaimana pikiran dan cara kerja mereka benar-benar menyatu dengan alam.
Terompet padi
Terompet jenis ini mungkin tidak pernah dijual dan tidak pernah dilihat orang kecuali harus ke kebun para petani desa. Kok gitu sih? Ya, terompet itu unik. Sebuah terompet kecil yang dibuat dari batang padi.
Caranya juga sederhana, bagaimana membuat terompet padi. Orang hanya perlu batang padi yang bagus dan bersih, lalu dengan satu bukunya yang masih utuh, kemudian bagian tengahnya dipecahkan menjadi beberapa belahan tanpa harus sampai ke ujung atasnya, lalu pada bagian ujung atas itu orang bisa meniupnya. Getaran udara yang masuk secara kencang pada rongga batang padi yang sudah pecah itu akan menghasilkan bunyi. Mirip deh, seperti terompet.
Kalau mengenai perbedaan bunyi, itu sederhana banget, suara akan beragam tergantung pada ukuran besar kecilnya batang padi yang digunakan. Coba bayangkan beberapa orang membuat terompet padi dengan ukuran berbeda, lalu meniup terompet itu secara bersamaan, apa kata dunia.Â
Ya, suatu simfoni alam terdengar merdu di sana. Suatu kerinduan untuk melestarikan tradisi dan kebiasaan unik masyarakat pedesaan mencuat begitu kuat. Ada pula kecemasan, karena arus perkembangan dan kemajuan ini, masyarakat desa bisa saja bergeser mata pencaharian mereka.Â
Yang tradisional, tentu saja tidak akan jadi yang usang, jika semakin banyak orang yang punya daya kreativitas ingin melestarikan peradaban, tradisi dan kebiasaan. Saya pribadi percaya bahwa menulis itu adalah cara membuka mata manusia untuk membaca dunia, hingga mengerti apa yang mesti dikenang, apa yang pantas dirindukannya, dan memancing manusia untuk berpikir dan bertanya peran apa yang mesti dimainkannya untuk kelestarian lingkungan, alam dan tradisi masyarakat.Â
Demikian beberapa poin cerita dan alasan mengapa petani desa rindu menyambut musim panen yang akan tiba. Semoga cerita ini bisa membangkit kan ingatkan anak-anak desa yang semakin jauh dari kebiasaan masyarakat aslinya.Â
Sebuah kenangan indah bisa saja diceritakan kembali atau bisa ditulis lagi. Melalui tulisan, kebiasaan-kebiasaan dan tradisi masyarakat tradisional bisa dibaca lagi oleh generasi baru yang semakin jauh dari yang tradisional, sehingga semuanya tidak dilupakan begitu saja, tetapi diingat sebagai yang pernah ada dalam sejarah masyarakat Indonesia. Pernah gak kebayang, apa jadinya suatu bangsa tanpa petani desa yang setia menanam dan mengetam padi?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H