Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masih Adakah Ruang bagi Etika Kritik Versi Masyarakat Adat untuk Mengkritik Pejabat Publik?

1 Maret 2021   21:30 Diperbarui: 1 Maret 2021   21:34 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
doliwa.naturtoto.de

Pada moment itulah, ia menyampaikan kritik melalui syair-syair adat. Pejabat publik yang hadir tidak akan tersinggung, mengapa? Karena Kritik, teguran itu disampaikan secara terhormat dalam forum adat, yakni pada saat pejabat publik itu sendiri bergandengan tangan dengan masyarakat adat yang dalam tanda petik adalah orang biasa. 

Juru syair bisa menafsir apa artinya gandengan tangan pejabat publik itu. Berikut ini salah satu syair yang menurut saya ada muatan etika kritiknya: O bapa Camat, Kau Mai dhato kami ata susa, kau dari nggepi nggiki-nggiki nee kami Ari ana, teke si Zima, dari si sama-sama, pati si kami raza masa." (Syair kritik dari bapak Moses Bosu (2016) untuk bapak Camat) 

Artinya, Wahai bapak Camat yang terhormat, Engkau datang mengunjungi kami yang susah, Kau berdiri berdampingan begitu rapat bersama kami semua yang adalah saudara, adik kakak Anda. Marilah bergandengan tangan dan berdirilah bersama, berilah kami jalan yang beraspal."

Dari segi rasa bahasa, maknanya tentu tidaklah lengkap seperti terjemahan saya di atas. Di situ ada satire adat pada syair singkat itu, yang bisa ditangkap seakan-akan jangan berpura-pura akrab tapi hati tidak peduli.Uniknya bahwa satire itu disampaikan dengan bahasa yang ramah dan indah dari pemahaman bahasa adat setempat.

Konteksnya adalah masyarakat membutuhkan pembangunan jalan desa. Masak sih sekian lama Indonesia merdeka, tetapi jalan menuju desa kami (desa Kerirea) masih berlumpur dan berlubang. Waktu itu bapak Camat menangkap pesan dan sama sekali tidak terlihat seperti direndahkan. Mengapa? Hal ini karena 3 alasan ini:

1. Kritik itu disampaikan dengan bahasa hati masyarakat adat.

2. Kritik disampaikan bukan untuk menolak pribadi seseorang, karena nyatanya pada saat itu kami masih bergandengan tangan

3. Kritik itu disampaikan sebagai suatu seni, ya seni menyampaikan pesan yang santun sesuai tata krama, adat istiadat.

Persoalannya adalah berkaitan dengan "pejabat asing" itu. Sebaliknya, jika pejabat itu bukanlah orang asing, maka etika kritik masyarakat adat memiliki pengaruhnya yang kuat sebagai sarana kontrol sosial (social control), bahkan bisa memiliki dampak psikologis dan spiritual.

Akhirnya saya menyadari bahwa masyarakat adat memiliki etika kritik yang santun. Ya, suatu etika kritik yang lahir dari refleksi atas warisan adat istiadat setempat: Kritik itu bukan menolak diri pribadi, tapi mengkritisi cara dan isi pikiran seseorang atau pejabat publik. 

Kritik boleh-boleh saja, asal kita tetap bergandeng tangan untuk kesuksesan masa depan bangsa. Salam berbagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun