Ada 4 alasan, mengapa etika kritik masyarakat adat belum punya ruang untuk mengkritik pejabat publik:
1. Putusnya hubungan makna antara warisan adat, budaya kita sendiri dengan euforia kebhinekaan di negeri ini
Kehilangan pengaruh etika kritik versi masyarakat adat itu terjadi karena ada paradoks antara rasa bangga tentang kebhinekaan yang ada, dan pada saat yang sama orang tidak peduli atau juga tidak tertarik untuk melihat makna dari keberagaman itu secara lebih konkret sampai ke akar tradisi masyarakat adat.
2. Sistem Pendidikan kita yang kurang bisa memberikan perhatian pada kebudayaan lokal dan warisan nilainya.
3. Pemahaman tentang budaya modern sebagai budaya yang bebas dari ikatan fondasi tradisional dan asli.
4. Bahasa adat masyarakat adat belum serius dipelajari. Ada kesan bahwa orang lebih bangga kalau bisa bicara bahasa internasional, daripada bisa berbicara bahasa internasional tapi juga bisa paham bahasa daerah.
Lalu, bagaimana tawaran solusi agar etika kritik masyarakat adat itu hidup dan dikenal publik? Menurut saya, ada 3 jalur pendekatan:
1. Jalur teologi Kontextual
Teologi ini dihidupkan dengan tujuan agar orang bisa membaca kembali warisan adat, budaya, bahasa, kebiasaan masyarakat yang telah rusak, bahkan hilang pada era Kolonialisme. Pendekatan teologi Kontekstual tentu cuma salah satu cara untuk mengangkat kembali warisan adat seperti etika kritik masyarakat adat.Â
Saya pernah mencoba itu dalam suatu kesempatan menulis tentang budaya kematian masyarakat Sikka, Maumere yang namanya Sumana pitu" Pada waktu itu, saya menemukan ada nilai-nilai yang terkandung di dalam kebiasaan dan tradisi itu.
2. Jalur penulisan