Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Cara Maaf Kita Berbeda-beda?

22 Februari 2021   15:37 Diperbarui: 22 Februari 2021   15:53 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian besar orang mungkin pernah mendengar ucapan ini, "Jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak." Demikian pula, masuk akal kalau orang berpikir seperti ini, jika saya salah saya harus minta maaf. Sebelum orang meminta maaf, selalu ada pertanyaan ini, yang secara pribadi muncul sendiri: apakah saya salah? Seseorang yang tegas pasti mampu membedakan dan bisa memberikan jawaban yang tepat.

Tentu, pertanyaan menarik adalah apa prinsip untuk membedakan dan memberikan jawaban yang benar? Siapa sih yang tidak suka menjadi orang yang bisa menjawab dengan benar? Meskipun demikian, jangan salah menilai dulu, ternyata pemahaman tentang benar dan salah, ya dan tidak, itu terkait konsep tentang kata "Maaf" yang berakar pada budaya pemahaman seseorang. Saya punya pengalaman seperti ini:

Seorang pria Jerman, tinggi besar, kekar, tegap, memiliki suara lantang buru-buru bertemu saya dan minta maaf. Alasannya, ia salah membacakan nama, yang tertulis itu Petrus, namun ia membaca Paulus dalam suatu acara bersama komunitas, padahal saya sendiri tidak menyadarinya. Bayangkan, betapa jujurnya orang itu. Dari peristiwa itulah, saya tertarik untuk membahas tentang kata "Maaf" Mengapa? Ada beberapa hal yang penting dalam hal ini, tentu terkait budaya dan pemahaman orang:

1. Budaya Kejujuran dalam mengatakan kebenaran harus dipelajari sejak kecil

Mengapa saya mengangkat poin ini? Saya masih ingat beberapa permainan waktu kecil yang mungkin saja ada di mana-mana atau sekurang-kurangnya di kampung saya. Seorang kakak bisa saja menghibur adiknya dengan permainan sembunyi-sembunyi namanya. Ia mengambil beberapa biji jagung, lalu mengenalkan kedua tangannya, dan meminta adiknya menebak pada kepalan tangan sebelah manakah, yang ada biji jagung. Waktu menebak benar misalnya, ada lagi trik untuk supaya tertipu. Ya, dengan bangga sang kakak menyembunyikan biji jagung pada celah-celah jari jarinya. Akhirnya sang adik tidak pernah menang, sedangkan kakaknya selalu bangga, meskipun bohong. Anehnya, sudah berbohong, bangga pula.

Dari kenyataan kecil itu, saya terinspirasi untuk mengatakan bahwa ada banyak permainan rakyat yang perlu dihidupkan dan perlu dijelaskan nilainya. Permainan tanpa penjelasan itu bisa saja berpengaruh secara psikologis. Ya seperti itu tadi, bangga kalau bisa menipu, apalagi bisa menipu banyak orang. Kalau orang sampai pada pemahaman seperti ini, maka kata maaf pasti tidak pernah ada, atau ada cuma untuk bohong-bohong saja. Eh, saya malah berpikir begini, bisa jadi, akar dari korupsi itu adalah orang terbiasa menipu dan bangga kalau bisa berbohong. Bisa juga lahir dari permainan masa kecil yang tidak direfleksikan nilainya. Nah, ini tentu butuh penelitian tentang pengaruh permainan rakyat terhadap psikologi anak dan pembentukan karakternya.

2. Kejujuran itu seringkali kalah karena budaya kesantunan

Pada waktu liburan tahun 2019 lalu, saya pernah melakukan perjalanan dengan menggunakan kereta api dari Surabaya ke Jogja dan Jogja ke Jakarta. Motivasi saya sederhana, cuma untuk mengalami beberapa perubahan dan kemajuan dunia sarana transportasi di Indonesia. Ya, sangat menakjubkan. Saya bangga dengan kemajuan yang ada. Kedisiplinan waktu berangkat, ketertiban di stasiun, ketenangan di dalam kereta, sungguh nyaman. 

Saya duduk dengan sopan pada kursi saya, lalu karena fasilitas kereta itu dilengkapi dengan selimut, maka saya menutupi badanku dengan selimut. Di samping saya ada seorang perempuan, entahlah Mahasiswa, pegawai, gak tahu persis, sebelum perkenalan singkat. Beberapa jam ketika melintasi di wilayah Jombang, saya bertanya kepadanya, "Maaf, boleh tanya gak ya," di sini Jombang? Katanya, "ya di sini namanya Jombang." Maaf ni, boleh tanya lagi gak? Ya, tentu boleh saja, katanya. Kenal gak nama Nurcholish Madjid? Tanya saya sekali lagi. Ya, aku kenal, benar asalnya dari Jombang, tegasnya. 

Saya berterima kasih kepadanya, lalu sama-sama terdiam. Gak lama kemudian, karena kecapaian saya meregangkan kaki ke depan, dan ternyata saya menginjak kabel cas perempuan itu, apa katanya, "Maaf Mas, Kabel casku." Oh iya, minta maaf ya, sambung spontan saya. Lalu katanya lagi, ya gak apa-apa Mas.

Sepanjang jalan saya hanya bergulat dengan kata-kata orang itu, bukan karena orangnya cantik dan enak juga diajak bicara. Saya sampai tersenyum sendiri karena heran, saya yang salah, tapi kok dia yang minta maaf sih.

Oh ampun, santunnya orang itu. Mbak, orang mana? Tanya saya lagi. Jawabnya, " orang Malang Mas" lho koq malang sih?

Dia tersenyum sipu, "aku gak Malang Mas, aku berasal dari kota Malang." Okeee, interessant, sekarang saya mengerti. Oh dari Malang....itu awal cerita kami dan seterusnya sampai berdiskusi tentang banyak hal. Bla..bla..bla...

3. Kata maaf memang sangat kuat dimaknai sesuai budaya seseorang, dari mana ia berasal

Budaya yang santun di Indonesia, begitu santunnya, sampai ketika seseorang pada posisi benar pun, dia juga meminta maaf. Ya, meminta maaf dengan sangat santun. Coba bayangkan hal seperti itu, rasanya tidak ada di seluruh dunia, kecuali bisa ditemukan dengan mudah di Indonesia.

Berbeda lagi di tempat lain, orang tidak meminta maaf dengan santun misalnya ketika kakinya diinjak atau kabel casnya diinjak, tetapi bisa langsung dengan menolak atau menampar. Wah kejam bukan? Apalagi kalau benar-benar orang lain melakukan kesalahan, sudah bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Terlihat bahwa budaya meminta maaf di Indonesia sudah berbeda-beda makna dan cara prakteknya, bahkan bisa berbanding terbalik antara satu daerah dengan daerah lainnya. Nah, inilah kekayaan budaya dan pemahaman kita tentang suatu kata seperti kata maaf.

4. Peran rasa bahasa ibu untuk suatu maaf

Oleh karena beda pemahaman tentang kata maaf, sebetulnya ada juga kata kunci yang mengalahkan keras dan kejamnya karakter seseorang, dan kata itu tentu terhubung erat dengan budaya seseorang. Contohnya dari daerah saya. Kalau saya melakukan kesalahan, saya bisa menjadi lebih santun dan meluluhkan hati orang yang benar dengan bahasa setempat: Eja, mae gera ko, jao saza tu mbee ka." Artinya, saudara, jangan marah ya, saya sudah benar-benar bersalah". 

Dari formulasi itu, terlihat tidak ada kata maaf, namun itu akan paling mudah memperoleh maaf. Mengapa? Tentu karena segi rasa bahasa ibu. Jadi, kita tentu bangga dengan bahasa dan budaya kita yang berbeda-beda di Indonesia, dan kita tentu tahu apa kata kunci yang bisa mempersatukan kita, bahkan bisa mengubah suasana hidup kita.

Nah, sering teman-teman saya yang dari Jerman, Belanda, India, Polandia dan Italia bertanya apa bahasa ibu saya, saya kadang sulit menjawab. Bahasa Indonesia? Bahasa ibu adalah bahasa yang mempersatukan kami semua, ya tentu bahasa Indonesia. Akan tetapi, jika Anda bertanya bahasa ibu, oh Tuhan, ada begitu banyak bahasa ibu di Indonesia. Jadi, itulah uniknya Indonesia. Bahasa Indonesia bisa mempersatukan semua, tanpa harus menghapus bahasa daerah dari masing-masing daerah. Inilah suatu kekayaan yang tidak pernah ada di Eropa.

5. Permohonan maaf itu tidak hanya menunjukkan kebesaran manusia, tetapi juga usaha untuk pemulihan hubungan (bdk. karrierebibel.de) Dari beberapa pengalaman yang sudah diceritakan di atas, terlihat jelas bahwa beberapa tips untuk permohonan maaf:

  1. Jangan menunda permohonan maaf itu sampai sebelum matahari terbenam
  2. Lakukan permohonan maaf itu secara langsung empat mata
  3. Hindari fokus pada diri sendiri
  4. Mengatakan kesalahan dengan sejujur-jujurnya
  5. Meminta kesempatan untuk memperbaiki diri sendiri
  6. Membangun niat untuk lebih baik lagi di waktu akan datang

Cara kita meminta maaf tentu boleh berbeda, tetapi tujuan kita meminta maaf pasti sama: Damai dan kembali bersaudara"

Bagaimana pengalaman Anda tentang "Minta Maaf" dalam lingkup kerja, di rumah dan di lingkungan pergaulan lainnya. Cara kita meminta maaf tentu boleh berbeda, tetapi tujuan kita meminta maaf pasti sama. 

Pada akhirnya, saya harus berbangga juga bahwa permohonan maaf yang tulus itu sendiri terhubung dengan cara berpikir rasional. Orang Jerman misalnya, kemarahan boleh memuncak, namun sepuluh menit kemudian, tanpa kata maaf pun kita sudah bisa minum kopi semeja dengan sukacita. Di sana sudah ada lagi cerita akrab dan ramah. Inilah indahnya berbagi dan saling belajar dari perbedaan-perbedaan yang ada.

Ino, 22.02.2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun