Mukena yang aku berikan untuk Bunda kini kupakai sendiri. Kini warnanya sudah tidak putih seperti dulu. Rendanya mulai lepas dan kainnya kasar, tidak lembut lagi. Tetapi kenangan Bunda masih ada di sini. Walaupun setiap kali melihat mukena ini aku teringat kesedihan akan kepergian Bunda, tetapi inilah kenangan terakhir darinya untukku."
"Bunda... Anisa rindu Bunda...." seruku di pinggir ranjang sambil memegang mukena itu.
Gelap. Sehelai kain menutupi mataku dan aku dengar suara tawa Lala. Dia mengamit tanganku lalu mengajakku pergi keluar dari kamar.
"Mau ke mana sih Lala sayang?"
"Bunda pokoknya jangan mengintip ya. Ayo Bunda ikut sama Lala."
Kubiarkan tanganku digenggamnya. Lala kemudian tertawa senang dan tidak menjawab pertanyaanku. Aku dituntun keluar dari kamar. Terus berjalan mengikuti langkah-langkah kecilnya. Kemudian kubuka kain yang menutup mataku.
"Selamat ulang tahun Bunda tersayang!"
Farhan dan Lala kemudian memelukku. Aku terkejut dan langsung menyambut pelukan mereka. Menahan tangis dan haru atas kejutan sederhana dari keluarga kecilku. Lala membawakan sebuah kue cokelat dan menciumi pipiku.
"Bunda... Ini kue cokelat buat Bunda. Lala sama ayah yang pilih di toko. Bunda pokoknya jangan sedih lagi ya," ujar Lala sambil memeluk kakiku
"Bagaimana Bunda bisa sedih sayang? Lala sudah membuat kejutan sederhana yang sangat indah buat Bunda. Terima kasih ya sayang." Aku kemudian menggendong Lala dan menciumi keningnya.
Rupanya selama ini Lala diam-diam memperhatikan aku yang menangis dalam tidur. Kemudian memberitahu ayahnya lewat ponsel cadanganku. Farhan yang khawatir mendengar hal tersebut, langsung mulai merencanakan kejutan spesial ini. Sebuah pesta kecil sederhana di kebun belakang rumah kami.