Menurut jurnal yang saya baca, hasil penelitian terbaru pada tahun 2020 menunjukan rata-rata penurunan muka tanah di kecamatan Pekalongan Utara, Pekalongan Barat, Pekalongan Timur, dan Pekalongan Selatan secara berurutan sebesar 24,13 cm/tahun, 22,83 cm/tahun, 21,94 cm/tahun, dan 20,40 cm/tahun.
Semakin mendekati pantai laju penurunan tanah semakin besar karena lapisan tanah di daerah pantai merupakan lapisan tanah yang terus mengalami konsolidasi/pemampatan. Laju penurunan tanah tertinggi adalah pada kelas penggunaan lahan untuk pemukiman dengan persentase 50,53%.Â
Angka yang cukup mengerikan. Bahkan ada kalimat jokes yang menyatakan "Harga tanah di Pekalongan semakin tinggi. Sebab tanahnya makin lama makin engga ada".
Dengan permodelan, pada tahun 2020 ini sekitar 7.771 rumah terdampak banjir rob. Diperkirakan 29.808 rumah akan terdampak pada dekade mendatang.
Solusi
Saya mengamati apa yang terjadi, bagaimana di beberapa titik ada mangrove maupun pohon cemara. Orang awam mungkin mengira itu hanya buat adem-adem saja atau malahan untuk berwisata.
Perlindungan akan bahaya banjir pesisir secara alami dapat dilakukan dengan melakukan penanaman kembali vegetasi mangrove. Mangrove secara alami dapat melindungi pantai dari abrasi dan banjir pesisir.
Bagaimana dengan pembuatan tanggul yang konon menyedot dana besar? Hasil penelitian yang dilakukan para ahli menunjukan bahwa tanggul bukanlah solusi utama. Tanggul dapat mengalami penurunan muka tanah juga, sehingga air laut bisa melewati tanggul (overtopping). Selain itu, potensi tanggul bocor dan jebol bisa terjadi.
Membiarkan alam bekerja tanpa menyadari kita punya andil dalam kerusakan bukanlah keputusan yang baik, apalagi kita bersembunyi di balik kata "bencana".
Semoga tulisan ini menyadarkan saya, yang masih banyak egoisnya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H