Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membantu Pengungsi Palu Pulang Kampung

5 Oktober 2018   23:36 Diperbarui: 5 Oktober 2018   23:42 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kabar baik dari Mba Yani (dokpri)

Kamis 4 Oktober 2018

Kedatanganku ke posko pengungsi kali ini lebih siang dari hari kemarin. Sekitar jam setengah 3 siang aku baru sampai. Penjagaan lebih ketat dari kemarin di pintu masuk. Deretan mobil antre untuk masuk ke posko. Hari ini sepertinya lebih banyak warga yang datang ke posko mengantarkan donasi, entah itu makanan atau pakaian. Beruntung aku naik sepeda motor, jadi lebih mudah dan lebih cepat. 

Beda  kalau mengendarai mobil, tidak boleh masuk sampai posko. Hanya sampai  hanggar C saja, lalu donasinya dikumpulkan disana. Aku pun sebenarnya  sudah diberitahu oleh petugas di pagar depan untuk memberikan donasinya  ke hanggar C saja tapi ketika  sampai di hanggar C, ternyata petugasnya tidak ada.  Langsung saja aku tancap gas menuju posko.

Hari ini kedatanganku menyampaikan amanah donasi dari teman berupa alat tulis,  pensil warna dan buku gambar. Hari ini sudah tersedia posko untuk trauma healing dan kids center, jadi anak anak tidak  lagi bosan karena sudah ada kegiatan entah itu mewarnai, menggambar,  bernyanyi atau mendengarkan dongeng.  Sedangkan trauma healing  diperuntukkan untuk para pengungsi yang trauma akibat gempa dan tsunami.

Aku bersyukur lokasi posko di lanud, tempat yang tidak mudah aksesnya. Mengingat sewaktu ada musibah kebakaran hebat di Balikpapan, posko pengungsi di lokasi yang amat mudah dijangkau oleh warga. Jadi ramai dan penuh sesak. Antara mau mengantar donasi dan hobi swafoto bersama korban tidak ada bedanya. 

Temanku sudah berada di posko sejak pagi. Aku menghampirinya, dia sedang berada di posko trauma healing dan kids center. Anak anak sedang bermain bongkar pasang, menggambar dan mewarnai. 

Temanku berkata ada keluarga yang tidak punya biaya pulang kampung.  Aku menghampiri keluarga tersebut yang terdiri dari  3 orang dewasa dan 2 anak anak.  Kepala keluarga bernama Pak Topik, istrinya bernama Ibu Yani, lalu ada kakaknya Pak Topik, dan dua anaknya Pak Topik. Anak yang paling kecil sudah rewel sejak tadi pagi, sepertinya suasana posko tidak nyaman untuknya. Alhamdulillah ada donasi boneka beruang merah muda, yang bisa membuatnya tenang. Boneka itu dipeluknya erat. 

Dari hasil kesepakatan teman temanku, uang donasi yang kami kumpulkan akan digunakan untuk beli tiket mereka ke Jakarta. Kampung mereka di Cirebon. Temanku cek tiket di Traveloka untuk penerbangan sore ini jam 6 harganya 635 ribu. Duit yang terkumpul ternyata belum cukup. Kami hubungi beberapa teman untuk bisa membantu. Akhirnya ada seorang teman yang bersedia menambahi. 

Namun karena kami harus transfer dalam waktu sejam, sedangkan kami masih ada di posko sepertinya tidak memungkinkan. Akhirnya kami tidak jadi pesan saat itu. Kami sepakat agar mereka sekeluarga sampai terlebih dahulu di bandara. Aku memberitahu ibu Yani agar bersiap siap naik bis yang memang telah disediakan oleh Pemkot menuju bandara. Sampai di bandara, kami akan pesan tiket.

Jarak antara posko dan bandara hanya beberapa meter, 5 menit sampai. Kami segera pesan tiket melalui Traveloka, ajaib harganya langsung melonjak jadi 765 ribu. Duit tambahan dari teman tidak cukup untuk membayar. Akhirnya temanku berinisiatif untuk langsung ke counter penjualan Lion di lantai 3. Sampai di counter penjualan, kami diberitahu oleh petugas Angkasa Pura kalau pembelian tiket untuk pengungsi Palu ada di lantai 4. 

Pak Topik dan keluarganya  sudah menunggu kami di pintu ruang tunggu keberangkatan. Tepat di depan eskalator menuju lantai 4 kami bertemu mereka.  Aku bertanya apakah mereka ada KTP, beruntung mereka bertiga membawa KTP. Aku meminta Pak Topik  menemani kami ke lantai 4. Di lantai 4 sudah ada petugas tiket, petugas distribusi makanan dan minuman serta petugas keamanan. 

Tampak beberapa pengungsi tiduran menunggu jadwal penerbangan. Harga tiket masih di angka 765 ribu, sedangkan kalau kami pesan di Traveloka saat itu sudah tidak tersedia lagi. Pembayaran harus tunai sehingga aku lari ke ATM untuk ambil uang. Saat itu waktu sudah menunjukkan jam 4 sore, dan penerbangan ke Jakarta jam 6 sore. Alhamdulillah kami dapat titipan donasi 1 juta. akhirnya 5 tiket bisa terbeli. 

Setelah membayar tiket, kami menuju counter check in. Sambil menunggu aku bercakap cakap dengan Pak Topik "rumah bapak dekat dengan pantai Talise ?" tanyaku. "dari rumah saya, pantai sudah kelihatan mba" jawabnya. "saat kejadian gempa saya sekeluarga di dalam rumah, rencananya habis isya mau ke pantai lihat festival. Anak saya yang laki laki bilang temannya sudah sejak sore ada di pantai. 

Pas gempa saya sekeluarga lari keluar rumah. Itu tsunami jaraknya tinggal 15 rumah lagi dari rumah saya. Saya gak ngebayangin kalau tsunaminya lebih besar lagi, habis saya sekeluarga" cerita Pak Topik. Mereka mengungsi ke gunung, dua hari kemudian mereka turun dan bertemu dengan kakaknya Pak Topik. "Yang paling parah itu di daerah yang tanahnya lunak mba. jadi semua rumah hilang masuk ke dalam bumi, seperti ada lubang besar terus lubang itu tertutup lagi. Banyak yang jadi korban di daerah itu " kata Pak Topik. Mereka sekeluarga tinggal di daerah Kampung Baru. Rumah kontrakan mereka tidak hancur, dindingnya saja pada retak retak. Namun rumah di sekitarnya ada yang hancur. 

Gempa dan tsunami Palu tidak lagi membuat rumah hancur namun lebih parah  lagi yakni hilang. Cerita dari seorang bapak di posko "rumah saya  hilang mba bukan hancur. Kalo hancur masih ada puing-puingnya namun  kalau hilang sama sekali tidak ada bekasnya".

Pak Topik dan keluarga sudah merantau 11 tahun di Palu, sehari harinya dia  jualan ayam goreng. "Sudah 3 tahun kami belum pulang ke Cirebon, rencana tahun ini. Dan ternyata beneran pulang tahun ini, namun dalam keadaan sedih" tutur Pak Topik lirih.  "Bapak nunggu berapa hari untuk bisa naik Hercules ?" tanyaku. "tidak lama kok mba, pas saya sampai di bandara sudah banyak orang mba. Ada ribuan orang yang mau naik Hercules. Ada yang ke Makassar, ke Menado dan Balikpapan. Saya waktu itu bawa anak saya yang kecil ke depan pagar, trus saya tunjukin ke petugas. 

Saya bilang saya ada anak kecil, lalu saya ditunjuk sama petugas. Iya kamu masuk kata petugasnya. Ya sudah kami naik ke Hercules" cerita Pak Topik. "Orang orang yang mau naik hercules itu tidak mau antre mba, semua ingin segera naik. Padahal kalo antre saja pasti keangkut juga" tambahnya. Mereka ke luar rumah tidak membawa apa apa hanya dompet berisi ktp dan uang seadanya. 

Sampai di posko mereka mengumpulkan baju baju dan makanan. akhirnya terkumpullah dua karung, dua kardus, dan dua koper. Untungnya tidak sampai 100 kilo jadi bisa masuk semua ke bagasi.

Kami mendampingi keluarga Pak Topik sampai masuk ke ruang tunggu keberangkatan. Dalam situasi kalut dan sedih seperti ini, memang harus ada yang pendamping supaya tidak terkena bujuk rayu nakal.  Pak Topik dan kakaknya membawa barang barang mereka menuju counter check in, lalu mereka dicegat oleh para sales jasa bungkus plastik tas. 

"Kalau mau masuk bagasi dibungkus dulu pak tasnya" kata sales itu. Hampir saja tas tas mereka dibungkus plastik, aku melihatnya "gak usah pak, langsung aja" kataku sambil mendorong troley mereka. 

Seenaknya saja para sales ini, tidak diinfokan terlebih dulu bahwa bungkus plastik itu berbayar. Duit mereka tinggal 300 ribu bisa habis untuk hal hal seperti itu. Sampai di Jakarta mereka harus naik Damri ke Kampung Rambutan untuk melanjutkan lagi naik bis ke Cirebon.

Total biaya yang dibutuhkan per orang sekitar 200ribu, setidaknya mereka harus menyiapkan 1juta untuk sampai ke kampung halaman. Aku bersyukur banyak teman teman yang mau donasi uang saku untuk mereka. 

Sebaiknya para donatur juga harus memahami kebutuhan donasi untuk pengungsi di Palu yang masih berada di Palu dengan pengungsi Palu yang ada di Balikpapan atau daerah transit lainnya. Mereka yang datang ke Balikpapan haya sekedar transit, jadi tentu yang dibutuhkan adalah uang saku perjalanan. Pemerintah memang menyediakan pesawat Hercules menuju Jawa namun jadwal penerbangan tidak setiap hari selalu ada. 

Pesawat Hercules masih fokus penerbangan Palu-Balikpapan. Misalnyapun mereka sudah sampai ke bandara Jakarta atau Surabaya atau Jogja, lalu dari bandara ke rumah mereka uang darimana. Pemikiran itu yang membuat aku dan teman teman sepakat,  donasi kami diperuntukkan untuk mereka yang tidak bisa pulang ke kampungnya.

Memang tipe donasi seperti ini lebih njelimet, karena harus survey terlebih dahulu, bertanya lebih mendalam ke para pengungsi, dan harus ada relawan yang standby lebih lama di posko dan mendampingi sampai ke ruang tunggu keberangkatan. Kita yang membelikan tiket dan mengantarnya sampai ke ruang tunggu keberangkatan.  Berbeda dengan tipe donasi dalam bentuk barang yang tinggal ditaruh saja di posko. 

Namun aku rasa semua di porsinya masing masing dan itu semua sama baiknya. Karena pada dasarnya semua berniat untuk membantu meringankan beban para pengungsi. 

Jumat 5 Oktober 2018

Alhamdulillah aku mendapat kabar baik. Pak Topik sekeluarga sudah sampai ke rumah, berkumpul dengan keluarganya. Aku terharu membaca smsnya. Semoga mereka sekeluarga sehat dan Pak Topik bisa segera berwirausaha lagi. 

Kabar baik dari Mba Yani (dokpri)
Kabar baik dari Mba Yani (dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun