Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cahaya Pasar

5 September 2017   10:24 Diperbarui: 5 September 2017   10:39 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pasar Klandasan. Aku mengenang tempat ini tidak hanya sebagai tempat ayah berjualan. Lebih dari itu aku mengenang tempat ini sebagai tempat ku menemukan keluarga, tempat ku tumbuh, tempat ku menemukan bakatku.

Dua puluh tahun lalu, ketika usiaku 8 tahun seorang pemuda datang ke pasar untuk membuka kedai kopi. Cukup aneh menurutku, karena kebanyakan penyewa kios menggunakan kiosnya untuk usaha servis hp, jual perlengkapan kosmetik,  jual perlengkapan rumah tangga atau usaha salon seperti jejeran kios di sebelah kios hp punya ayahku.

Pasar Klandasan waktu itu sedang lesu, tidak seramai seperti tahun tahun sebelumnya. Semenjak kehadiran pusat perbelanjaan dan ratusan ruko yang menjamur di kota Balikpapan, pedagang yang bermodal sedikit seperti ayah harus tergusur sampai ke belakang pasar. Menanti mukjizat ada pengunjung yang mau blusukan hingga ke belakang, kerena di area depan sudah banyak juga kios servis Hp. Ayah hanya sanggup menyewa kios belakang, uang tabungan sudah dipakai untuk pengobatan ibu.

Dahulu kata ayah, dari hasil dagang di pasar ayah bisa membeli rumah dan motor, bahkan bisa membangunkan rumah untuk nenek di kampung. Namun sekarang untuk bisa makan sampai besok saja sudah syukur. Kata ayah hidup seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Aku mengiyakan saja pernyataan itu, meski belum memahami makna sebenarnya

Sepulang sekolah aku selalu melewati kedai kopi itu. Pemiliknya bernama Abi, aku berkenalan dengannya ketika aku menemani ayah minum kopi di kedai. Aku memanggilnya Om Abi. Ayah suka sekali ngobrol dengan Om Abi. Kata ayah Om Abi adalah pemuda berani dan penuh idealisme, belum pernah ada orang yang mau buka kedai kopi dengan kualitas biji kopi yang bagus di pasar Klandasan. Orang mengenal pasar klandasan adalah pasar sayur dan ikan, banyak toko emas, pusat servis hp, toko buku pelajaran, pusat perabot rumah tangga atau salon.  

Pada waktu itu kedai kopi banyak bermunculan di Balikpapan, mereka menempati ruko ruko yang kemudian dihias dengan lampu lampu warna kuning seperti lampu di kamar mandiku. Suatu kali aku bertanya ke om Abi, kenapa dia buat kedai kopinya di pasar, kenapa tidak seperti teman temanya yang buka kopi di tempat bagus. Om Abi menjawab "om senang di pasar, banyak teman, ramai, banyak orang lalu lalang, bisa ngobrol sama banyak orang. Lagipula kalau semuanya buka kedai kopi di ruko atau di mall, nanti siapa yang buatin kopi enak buat bapak bapak pedagang disini" jelasnya tersenyum. Aku mengiyakan jawabannya, memang kata ayah kopinya Om Abi beda dengan kopi di warung kopi biasanya. "Ini baru kopi" begitu kata ayah ketika pertama kali menyeruput kopi buatan Om Abi.  "Lha terus kopi bungkus yang selama ini ayah minum isinya bukan kopi yah"? tanyaku. "bukan itu cuma serbuk aroma kopi hahaha" jawab ayah santai.

Aku suka bau kopi. Setiap pagi itulah yang kuhirup di rumah. Bau kopi ayah yang diseduh ibu selalu membangunkanku. Entahlah hidung ku ini kurasa seperti hidung kucing yang meski tidur selalu bangun ketika mencium aroma ikan goreng, begitulah apa yang kualami dengan aroma kopi. Setiap melewati kedai kopinya Om Abi, aku selalu berjalan lamban bahkan terkadang aku terdiam berdiri di samping kedainya.  Menikmati bau kopi. Merindukan ibu.

Selang beberapa bulan, dua perempuan cantik berkerudung membuka kios buku tepat di sebelah kedai kopinya Om Abi. Namanya Tante Yusna dan Tante Inne. Awalnya kukira kios buku ini serupa dengan kios kios buku di dalam pasar. Jualan buku buku pelajaran dan buku buku agama, tetapi ternyata bukan. Kehadiran mereka bukan untuk jualan buku ternyata, tetapi untuk berbagi buku. Beragam jenis buku ada di kios buku yang bercat biru seperti warna laut yang terbentang luas di depan kios ku, dengan rak rak buku berwarna kuning cerah. Buku buku yang tersedia awalnya tidak ada buku khusus untuk anak anak, semuanya untuk dewasa. Ada buku psikologi, kesehatan, sastra, buku novel seperti supernova yang baru ku baca ketika SMP.

Namanya Pena dan Buku, begitulah tulisan yang tertera di plang yang terpasang di depan kiosnya Tante Yusna dan Tante Inne. Pertama kalinya aku mengetahui bahwa selain perpustakaan sekolah ada tempat yang bisa membaca dan membawa pulang buku gratis. Aku pernah ke toko buku di mall, aku penasaran sekali dengan buku cerita yang ada di toko buku itu, lalu ku sobek plastiknya dan aku ditegur oleh karyawan toko buku itu. Ayah malu karena perbuatanku, akhirnya buku itu terpaksa dibeli ayah, padahal aku tau saat itu uang di dompet ayah hanya selembar gambarnya Bung Karno dan Bung Hatta. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi ke toko buku itu. Aku takut tidak bisa menahan rasa penasaranku terhadap hamparan buku cerita dengan sampul warna warni menarik hati.

Tante Inne memperkenalkan bahwa kios buku yang mereka punya adalah ruang baca, ruang penitipan buku dan tempat jual beli buku bekas. Bebas baca sepuasnya dan bila meminjam buku tulis di buku peminjaman. Semudah itu ternyata. Setiap pulang sekolah kegiatanku dan teman teman main di ruang baca mulai dari membaca, mewarnai, bermain origami, sampai bermain uno, aku dan teman teman menganggap ruang baca ini adalah basecamp kami. Tempat paling nyaman sedunia begitu kata Iman, temanku.

Suatu sore, Tante Inne mengabarkan sabtu sore akan ada acara dongeng. Aku dan teman temanku hadir di sabtu sore yang cerah, kukira tidak jadi karena sebelumnya hujan besar di Klandasan, jalanan pasar becek dan banyak genangan air. Tetapi ternyata Kak Fanni dan Kak Nina tetap hadir mendongeng.  Mereka membawa boneka tangan binatang yang bentuknya lucu sebagai alat peraga. 

Kak Nina sore itu mendongeng tentang ikan ikan di laut, sedangkan kak Fanni mendongeng tentang raja hutan. Seru sekali, aku dan teman temanku pulang dengan hati gembira. Banyak dari teman temanku mengatakan baru kali itu mendengar dongeng, bahkan temanku Rifky, berharap andai setiap sore ada  kakak kakak yang mendongeng, pasti menyenangkan katanya. Aku sendiri setelah mendengar dongengnya Kak Nina dan Kak Fanni malah menangis. 

Aku teringat ibu, beliau suka sekali bercerita apa saja tidak melulu mengenai binatang, bahkan wajan dan panci pun bisa menjadi dongeng ibu. Rumah riuh ramai bila ada ibu, teman temanku sering datang ke rumah hanya untuk mendengar cerita ibu, dongeng ibu seakan menghipnotis teman temanku, kebanyakan dari mereka mereka jatuh tertidur di bale-bale teras rumah, kemudian orang tua mereka datang satu persatu mengangkat anaknya.  

Dulu ibu sering sekali mengajakku pergi ke dermaga, letaknya di belakang pasar Klandasan. Menikmati senja kata ibu. Tidak ada yang kami lakukan, kami hanya duduk di tepian dermaga memperhatikan gumpalan awan dan pijaran cahaya matahari yang semakin lama semakin menghilang hingga akhirnya terdengar suara Azan Maghrib lalu kami pulang.

Sore itu  ibu berkata "Tuhan tidak pernah meninggalkan hambaNya sendirian, ibu pasti pergi meninggalkanmu, ayah juga, tapi Tuhan tidak. Dia selalu ada, selalu menemani hamba hambanya. Lihatlah ketika cahaya matahari memerahkan langit lalu meredup pergi ke tempat lain, segera itu juga datang cahaya bulan yang bersinar menerangi malam. 

Jadilah cahaya seperti namamu Cahya, selalu menjadi penerang yang bermanfaat bagi sekeliling". Aku memeluknya, tampak bulir air mata jatuh dari matanya. Dia membalas pelukanku erat sekali. Itu senja terakhirku bersamanya. Setelah itu kondisi ibu makin melemah, kanker terus menggerogoti tubuhnya, tapi tidak senyumnya. Bahkan ketika ibu pergi menghadap Tuhan, ibu tersenyum cantik, seperti namanya. Cantika.

Semenjak kehadiran Pena dan Buku dan kedai kopinya Om Abi yang namanya Kopi Sahabat. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan membaca buku atau memperhatikan Om Bimo menggambar. Om Bimo adalah temannya Om Abi yang bekerja di kedai kopi. Terkadang aku ingin meniru gayanya Tante Yusna, membaca buku sambil menyeruput kopi panas. Keliatannya keren. Aku memesan kopi ke Om Bimo, eh ternyata Om Bimo tidak mau membuatkan. Katanya anak kecil gak boleh minum kopi. Padahal ayahku membolehkan kopinya diseruput olehku. Jangan banyak banyak dua seruput saja katanya. Kenapa dua seruput ayah tanyaku penasaran. Satu seruput untuk pertemuan satu sruput lagi untuk perpisahan. 

Dua hal yang kualami di usiaku menginjak 8 tahun, aku berpisah dengan ibuku untuk selamanya kemudian aku bertemu dengan Om Abi, Om Bimo, Tante Yusna, dan Tante Inne. Senyumku menciut ketika Om Bimo menolak membuatkan kopi untukku. Padahal aku sudah menabung uang jajanku selama 2 minggu untuk bisa beli kopi. Akhirnya ku putuskan untuk beli teh tarik saja. Nah kalau teh tarik baru boleh kata om Bimo dengan sigap meracik teh tarik pesananku. Seiring waktu aku bersahabat dengan kedua om dan tante  ini.

Om Bimo jago sekali menggambar. Aku suka sekali memperhatikannya saat ia menggambar. Suatu hari Om Bimo menghadiahi aku gambar burung hantu, dengan sorot mata tajam dan sayapnya yang sedang  terbuka terbang bebas di langit malam. Sampai sekarang burung hantu Om Bimo masih kupajang di dalam kamarku. Foto pacar boleh berganti tetapi tidak untuk burung hantu, begitu kataku ketika ada teman yang menanyakan. Dari buku yang aku baca burung hantu adalah hewan malam yang punya pandangan tajam. Fokus pada sasaran. Sifatnya tenang bilapun ia terbang tanpa ada suara. 

Sejak ibu tidak ada, aku jadi sulit tidur malam. Selalu terjaga meskipun sepanjang siang aku bermain bola dan kejar kejaran di lorong pasar, namun tetap saja ketika malam tiba mataku sulit terpejam. Aku sering berimajinasi punya teman burung hantu yang mengajak ku terbang ketika malam datang. Berkelana hingga ke Penajam dan pulang ketika matahari terbit. Pernah juga aku berkhayal burung hantuku membawaku ke surga, tempat ibuku sekarang. Ah ibu, betapa aku rindu kecupan mu menjelang tidur.

Sering waktu aku akhirnya bisa menggambar burung hantu ku sendiri. Om Bimo yang mengajariku. Sejak itulah setiap malam aku membuat cerita burung hantuku sendiri dalam bentuk komik. Buku buku cerita di ruang baca pena dan bukulah yang menjadi sumber inspirasi ceritaku.

Suatu hari aku membawa sepuluh lembar karya mangaku ke mereka. Mereka kaget luar biasa dengan kehebatan bakatku. Menurut Tante Yusna bakatku ini harus dikembangkan. Aku sendiri tidak pernah memimpikan untuk belajar lebih jauh mengenai manga. Aku tahu diri, aku anak piatu yang ikut ayah kerja di pasar Klandasan. Tamat SMA saja bagiku suatu kemewahan, karena aku sadar betul pasti berat bagi Ayah membiayai aku dan 3 adikku.

Sore itu aku tidak akan pernah lupa, ketika Om Abi datang ke kios ayah, bercakap cakap dengan ayahku. Ayah memanggilku, aku menatap ayah heran karena untuk kedua kalinya aku melihat ayah menangis, sejak kematian ibu. Aku bertanya kepada ayah "Kenapa yah?" Ayah menjawab "jadilah orang yang berilmu, tuntutlah ilmu setinggi bintang di langit. Ibumu menamakan Cahya, karena engkaulah cahaya hatinya. Ibumu yakin kau akan jadi penerang bagi sekelilingmu".  Aku semakin heran dengan jawaban ayah. Om Abi memanggilku lalu memelukku dan berkata "Cahya, kamu akan meneruskan belajar Manga di Jepang".

Merekalah yang selama ini mengunggah karya karyaku ke media social. Kata tante Yusna "sayang sekali bila karya sebagus ini tidak dinikmati banyak orang".  Sungguh aku tidak tahu sama sekali, om dan tanteku ini sangat mengapresiasi karya karyaku.  Bagiku dengan menggambar aku bisa bertemu ibu kapan saja, itu yang membuatku tidak pernah berhenti menggambar.

Begitulah kisahku, kini aku pulang setelah sepuluh tahun belajar dan bekerja di Jepang. Mencium Balikpapan sekaligus merangkulnya. Betapa aku rindu sekali dengan kota ini, setiap sudut dari kota ini menjadi kisah dalam karya mangaku.  Tujuanku pertama kali tentu saja Pasar Klandasan, tempat dimana kios ayah, kedai Kopi Sahabat dan ruang baca Pena dan Buku. Melepas rindu dengan mereka, keluarga yang sengaja diberikan Tuhan kepadaku.  

Balikpapan, 23 Desember 2016 & 4 September 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun