Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cahaya Pasar

5 September 2017   10:24 Diperbarui: 5 September 2017   10:39 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kak Nina sore itu mendongeng tentang ikan ikan di laut, sedangkan kak Fanni mendongeng tentang raja hutan. Seru sekali, aku dan teman temanku pulang dengan hati gembira. Banyak dari teman temanku mengatakan baru kali itu mendengar dongeng, bahkan temanku Rifky, berharap andai setiap sore ada  kakak kakak yang mendongeng, pasti menyenangkan katanya. Aku sendiri setelah mendengar dongengnya Kak Nina dan Kak Fanni malah menangis. 

Aku teringat ibu, beliau suka sekali bercerita apa saja tidak melulu mengenai binatang, bahkan wajan dan panci pun bisa menjadi dongeng ibu. Rumah riuh ramai bila ada ibu, teman temanku sering datang ke rumah hanya untuk mendengar cerita ibu, dongeng ibu seakan menghipnotis teman temanku, kebanyakan dari mereka mereka jatuh tertidur di bale-bale teras rumah, kemudian orang tua mereka datang satu persatu mengangkat anaknya.  

Dulu ibu sering sekali mengajakku pergi ke dermaga, letaknya di belakang pasar Klandasan. Menikmati senja kata ibu. Tidak ada yang kami lakukan, kami hanya duduk di tepian dermaga memperhatikan gumpalan awan dan pijaran cahaya matahari yang semakin lama semakin menghilang hingga akhirnya terdengar suara Azan Maghrib lalu kami pulang.

Sore itu  ibu berkata "Tuhan tidak pernah meninggalkan hambaNya sendirian, ibu pasti pergi meninggalkanmu, ayah juga, tapi Tuhan tidak. Dia selalu ada, selalu menemani hamba hambanya. Lihatlah ketika cahaya matahari memerahkan langit lalu meredup pergi ke tempat lain, segera itu juga datang cahaya bulan yang bersinar menerangi malam. 

Jadilah cahaya seperti namamu Cahya, selalu menjadi penerang yang bermanfaat bagi sekeliling". Aku memeluknya, tampak bulir air mata jatuh dari matanya. Dia membalas pelukanku erat sekali. Itu senja terakhirku bersamanya. Setelah itu kondisi ibu makin melemah, kanker terus menggerogoti tubuhnya, tapi tidak senyumnya. Bahkan ketika ibu pergi menghadap Tuhan, ibu tersenyum cantik, seperti namanya. Cantika.

Semenjak kehadiran Pena dan Buku dan kedai kopinya Om Abi yang namanya Kopi Sahabat. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan membaca buku atau memperhatikan Om Bimo menggambar. Om Bimo adalah temannya Om Abi yang bekerja di kedai kopi. Terkadang aku ingin meniru gayanya Tante Yusna, membaca buku sambil menyeruput kopi panas. Keliatannya keren. Aku memesan kopi ke Om Bimo, eh ternyata Om Bimo tidak mau membuatkan. Katanya anak kecil gak boleh minum kopi. Padahal ayahku membolehkan kopinya diseruput olehku. Jangan banyak banyak dua seruput saja katanya. Kenapa dua seruput ayah tanyaku penasaran. Satu seruput untuk pertemuan satu sruput lagi untuk perpisahan. 

Dua hal yang kualami di usiaku menginjak 8 tahun, aku berpisah dengan ibuku untuk selamanya kemudian aku bertemu dengan Om Abi, Om Bimo, Tante Yusna, dan Tante Inne. Senyumku menciut ketika Om Bimo menolak membuatkan kopi untukku. Padahal aku sudah menabung uang jajanku selama 2 minggu untuk bisa beli kopi. Akhirnya ku putuskan untuk beli teh tarik saja. Nah kalau teh tarik baru boleh kata om Bimo dengan sigap meracik teh tarik pesananku. Seiring waktu aku bersahabat dengan kedua om dan tante  ini.

Om Bimo jago sekali menggambar. Aku suka sekali memperhatikannya saat ia menggambar. Suatu hari Om Bimo menghadiahi aku gambar burung hantu, dengan sorot mata tajam dan sayapnya yang sedang  terbuka terbang bebas di langit malam. Sampai sekarang burung hantu Om Bimo masih kupajang di dalam kamarku. Foto pacar boleh berganti tetapi tidak untuk burung hantu, begitu kataku ketika ada teman yang menanyakan. Dari buku yang aku baca burung hantu adalah hewan malam yang punya pandangan tajam. Fokus pada sasaran. Sifatnya tenang bilapun ia terbang tanpa ada suara. 

Sejak ibu tidak ada, aku jadi sulit tidur malam. Selalu terjaga meskipun sepanjang siang aku bermain bola dan kejar kejaran di lorong pasar, namun tetap saja ketika malam tiba mataku sulit terpejam. Aku sering berimajinasi punya teman burung hantu yang mengajak ku terbang ketika malam datang. Berkelana hingga ke Penajam dan pulang ketika matahari terbit. Pernah juga aku berkhayal burung hantuku membawaku ke surga, tempat ibuku sekarang. Ah ibu, betapa aku rindu kecupan mu menjelang tidur.

Sering waktu aku akhirnya bisa menggambar burung hantu ku sendiri. Om Bimo yang mengajariku. Sejak itulah setiap malam aku membuat cerita burung hantuku sendiri dalam bentuk komik. Buku buku cerita di ruang baca pena dan bukulah yang menjadi sumber inspirasi ceritaku.

Suatu hari aku membawa sepuluh lembar karya mangaku ke mereka. Mereka kaget luar biasa dengan kehebatan bakatku. Menurut Tante Yusna bakatku ini harus dikembangkan. Aku sendiri tidak pernah memimpikan untuk belajar lebih jauh mengenai manga. Aku tahu diri, aku anak piatu yang ikut ayah kerja di pasar Klandasan. Tamat SMA saja bagiku suatu kemewahan, karena aku sadar betul pasti berat bagi Ayah membiayai aku dan 3 adikku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun