Mohon tunggu...
La Iwang (Semesta Wadagiang)
La Iwang (Semesta Wadagiang) Mohon Tunggu... Editor - Apa jadinya andai fikiran orang-orang dulu itu tak di bukukan?

Aku hanya belajar untuk bisa terus belajar. Belajar dari mereka, belajar dari kalian semua........

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Reuni 30 Tahun (Aku Sudah Hadir)

19 April 2022   23:58 Diperbarui: 30 April 2022   18:02 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yuk, Reuni 30 Tahun. Demikianlah sebuah tulisan panjang beredar di group medsos alumni. Lengkap dengan seluruh tetek bengeknya, iuran wajib, sumbangan partisipasi bagi yang tidak sempat hadir, hingga keharusan membawa kue tradisional masing-masing daerah asal.

30 Tahun!? Repleks otakku merespon. Justru kata reuni itu sendiri kurang begitu menggodanya. Entahlah, mungkin sudah saking banyaknya uni-uni yang berseliweran.

Angka 30, jika di hitung dari tahun kelahiran seseorang, itu menunjukkan bahwa fase tersebut adalah fase dimana kekuatan ke-muda-an seseorang sedang memuncak. Pada fase itulah menyemat lencena kepemudaan, yang konon pada merekalah letaknya masa depan bangsa. Itu jika pijakan angkanya di hitung dari hari kelahiran. 

Masalahnya menjadi sedikit panjang manakala angka 30 itu di hitung berdasarkan hari dimana sekelompok anak remaja harus berpisah satu sama lain lantaran hak kesantriannya di sebuah Ponpes bernama Darul Arqam Gombara itu telah berakhir. 

Regulasi dunia kepesantrenan telah menitahkan bahwa setiap orang yang berstatus santri dan santriah sudah harus meninggalkan pondok setelah enam tahun, siap atau tidak, suka atau tidak, kecuali ada diskresi.

Keluarlah! Tinggalkanlah seluruh kenangan termanismu seindah apapun Itu (kata pahit telah musnah). Lepas dan pergilah menemui dunia barumu, impianmu, harapanmu, cita-cita dan kisah apa sajamu. Kejarlah ia setingi langit dan seluas samudera, enam tahun kalian sudah ditempa, itu sudah cukup.

Enam atau tujuh tahun usia seorang anak sebelum masuk bangku sekolah. Enam tahun di sekolah dasar lalu di tambah lagi  enam tahun di pesantren. Klop 18 atau 19 tahun usia awal seorang alumni. 

30 tahun telah berlalu dari usia 18-19 tahun itu. Artinya, saat ini usia kita sudah dikisaran 48 atau 49 tahun,  alias jelang usia 50. Lalu apa makna angka-angka itu di reuni kali ini? 

Hal pertama pasti soal silaturahim yang dengan kegiatan reuni itu akan terus terbaharui kualitas kedalamannya. Kedua, mungkin tentang nostalgia indah yang ingin kita kenang-kenang lagi, tentang canda tawa kejenakaan dan kekonyolan kita, tentang tipu-tipu muslihat kita menyiasati aturan otoriter pondok, tentang lahapnya kita menikmati nasi kecap, dan lain-lain, dan pastinya, tentu ada saja cerita-cerita romansa santri yang pasti selalu layak di daur-daur ulang sebab haqqul yakin sensasi tentangnya memang tak ada duanya di sekolah manapun.  

Lalu apa lagi? 

Diantara kita juga pasti sudah ada yang memiliki cucu, sehingga ia kini sudah memanggul status berjudul nenek atau kakek. Artinya, dengan adanya satu atau dua orang diantara kita yang berstatus seperti itu, maka imbasnya kita semua harus rela menelan pil pahit bahwa kita ini ternyata sudah angkatan kakek-kakek atau nenek-nenek juga, iya, kan?

Tapi sory, lupakan tentang usia. Saya teringat dengan suatu artikel di sebuah medsos. "Hal yang paling tidak disukai oleh wanita yang tak lagi muda, adalah ketika seorang lelaki membahas soal umur," begitu katanya. Sekali lagi, saya minta maaf soal itu.

10 Tahun lalu, di Bulan Desember Tahun 2012, hari itu (aku telah meresmikannya menjadi hari kerinduan Nasional). Kita, alumni 8692 Dago, yang 20 tahun terserak di seluruh penjuru Nusantara, kembali berkumpul. Jadi, biar sajalah kita yang menjadi representasi dari seluruh cerita tentang rindu.

Hari itu, 12-12-2012, tombol on jaringan telah menyala, seluruh energi mulai terhubung satu sama lain. Kemudian, tiga hari berikutnya, tepatnya 15-12-2012, semesta benar-benar bekerja. Deluna Resto menjadi saksi. 

Tumpah sudah seluruh rindu-rindu itu, menyatu menjadi sebuah telaga. Kita lalu menyelam-nyelam di dalamnya, kita bergerak bebas walau tak dapat berenang, kita hanya dapat bermain dan berkejaran di sisi-sisi yang dangkal, persis seperti masa kanak-kanak kita. Tapi aku tidak.. dan inilah inti dari seluruh rangkaian cerita itu.

Entah bagaimana awalnya, aku  tiba-tiba keluar dari barisan anak-anak itu, ya, anak-anak yang kita itu, aku seperti tersedot masuk kedalam suatu labirin yang lebih dalam dan sungguh berkelok. Aku mulai tenggelam, tersengal-sengal, dan nyaris tak bisa lagi bernafas.
Aku tahu aku tak bisa berenang, tapi anehnya aku merasa seperti sangat pandai berenang. Aku merasa seperi sepasang angsa putih yang sedang berenang-renang, hingga ketika pluit panjang sang malam mulai berbunyi. Hey! Itu semua fiktif, santri! 

Hmmm, 10 tahun sudah. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun sungguh bergerak begitu cepat. melesat bak sabetan-sabetan pedang para pendekar. Alangkah cepatnya memang, hampir-hampir tak terasa, tapi begitulah dahsyatnya waktu.

Maka memang sudah sangat pantaslah jika kerinduan satu sama lain diantara kita itu kembali hadir mengusik rasa dan asa. Sungguh, aku ingin sekali hadir, ingin sekali lebur lagi bersama kalian menyelam-nyelam hingga ke dasar telaga itu. Aku ingin menulis dan ingin sekali membacakan untuk kalian syair-syair terbaik para pencinta. Tapi sayang, semenjak 10 tahun itu, aku benar-benar takut pada laut dan gunung, pada tebing dan air terjun. Aku benar-benar tak bernyali lagi. Aku benar-benar takut.

Sahabatku...
Sumpah, pada akhirnya ada titik dimana aku  menyadari ternyata aku memang bukan siapa-siapa. Hina, penuh aib, bodoh dan lemah tak mampu berbuat apa-apa. Saat itulah hatiku menjerit memohon maaf bila saja ada kata dan sikap tak terpujiku yang telah melukai hati kalian.

Sekali lagi, saya benar-benar meminta maaf, sungguh berharap dapat dimaafkan.

Taqabbalallahu minna wa minkum
Selama Hari Raya Iedul Fitri 1443 H. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun