Yuk, Reuni 30 Tahun. Demikianlah sebuah tulisan panjang beredar di group medsos alumni. Lengkap dengan seluruh tetek bengeknya, iuran wajib, sumbangan partisipasi bagi yang tidak sempat hadir, hingga keharusan membawa kue tradisional masing-masing daerah asal.
30 Tahun!? Repleks otakku merespon. Justru kata reuni itu sendiri kurang begitu menggodanya. Entahlah, mungkin sudah saking banyaknya uni-uni yang berseliweran.
Angka 30, jika di hitung dari tahun kelahiran seseorang, itu menunjukkan bahwa fase tersebut adalah fase dimana kekuatan ke-muda-an seseorang sedang memuncak. Pada fase itulah menyemat lencena kepemudaan, yang konon pada merekalah letaknya masa depan bangsa. Itu jika pijakan angkanya di hitung dari hari kelahiran.Â
Masalahnya menjadi sedikit panjang manakala angka 30 itu di hitung berdasarkan hari dimana sekelompok anak remaja harus berpisah satu sama lain lantaran hak kesantriannya di sebuah Ponpes bernama Darul Arqam Gombara itu telah berakhir.Â
Regulasi dunia kepesantrenan telah menitahkan bahwa setiap orang yang berstatus santri dan santriah sudah harus meninggalkan pondok setelah enam tahun, siap atau tidak, suka atau tidak, kecuali ada diskresi.
Keluarlah! Tinggalkanlah seluruh kenangan termanismu seindah apapun Itu (kata pahit telah musnah). Lepas dan pergilah menemui dunia barumu, impianmu, harapanmu, cita-cita dan kisah apa sajamu. Kejarlah ia setingi langit dan seluas samudera, enam tahun kalian sudah ditempa, itu sudah cukup.
Enam atau tujuh tahun usia seorang anak sebelum masuk bangku sekolah. Enam tahun di sekolah dasar lalu di tambah lagi  enam tahun di pesantren. Klop 18 atau 19 tahun usia awal seorang alumni.Â
30 tahun telah berlalu dari usia 18-19 tahun itu. Artinya, saat ini usia kita sudah dikisaran 48 atau 49 tahun, Â alias jelang usia 50. Lalu apa makna angka-angka itu di reuni kali ini?Â
Hal pertama pasti soal silaturahim yang dengan kegiatan reuni itu akan terus terbaharui kualitas kedalamannya. Kedua, mungkin tentang nostalgia indah yang ingin kita kenang-kenang lagi, tentang canda tawa kejenakaan dan kekonyolan kita, tentang tipu-tipu muslihat kita menyiasati aturan otoriter pondok, tentang lahapnya kita menikmati nasi kecap, dan lain-lain, dan pastinya, tentu ada saja cerita-cerita romansa santri yang pasti selalu layak di daur-daur ulang sebab haqqul yakin sensasi tentangnya memang tak ada duanya di sekolah manapun. Â
Lalu apa lagi?Â
Diantara kita juga pasti sudah ada yang memiliki cucu, sehingga ia kini sudah memanggul status berjudul nenek atau kakek. Artinya, dengan adanya satu atau dua orang diantara kita yang berstatus seperti itu, maka imbasnya kita semua harus rela menelan pil pahit bahwa kita ini ternyata sudah angkatan kakek-kakek atau nenek-nenek juga, iya, kan?