Ini negeri penuh luka
Dari balik mantel kolonial
Aku temukan kata-kata
Isi tintanya mengekalkan kisah-kisah
Wajah yang kini terpampang bagi iklan sabun mandi.
Ada yang jari-jemarinya meminta pada langit yang menjanjikannya hampa
Ada yang mengepal tangan kanan
Ada yang membuka lesung tawa penghianatan
Ada yang Berdiri dengan lidah seribu cabang kematian
Tapi tubuhku tidak tergetar oleh itu
Aku tertawa dengan mata penuh luka
Melihat istana yang di huni para raja-raja
Lalu kita ini siapa tuanku.?
Percayalah padaku
Esok ketika kau buka jendela
Tuhan memberimu utusan dari tangan yang penuh kretas-kretas kapal dengan ribuan kilo beras dari surga
Terimalah itu
Dan kenanglah nama-nama itu
Pada tiang bendera penuh wajah-wajah palsu.
Maka bukalah pintu kamar akalmu
Tak ada cinta yang setia menemanimu
Atau memberimu ciuman setajam mantan kekasihmu
Politik bermula dari kata berakhir pada janji.
Kenanglah itu
Kunci kamar akalmu
Percayalah
Bila cinta yang biru datang mengetuk pintu hatimu
Sarungkanlah sebait kata dari mantra-mantra yang menyeramkan seluruh pada isi kepalanya.
Hujan musim pemilu
Hujan yang pilu memberi bait-bait rintik pada dinding poster iklan sabun mandi wajah palsu di perempatan jalan itu.
Oleh : Rafi Sharul Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H