Mohon tunggu...
Dr. Jack Febrian Rusdi
Dr. Jack Febrian Rusdi Mohon Tunggu... Dosen - Ph.D bidang ICT, Dosen dan Peneliti

Dosen dan peneliti di Universitas Teknologi Bandung (UTB), Ph.D dalam bidang ICT khususnya terkait Tracking Technology and Behavior Analysis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Terbentuklah Masyarakat Takut Buku

12 Januari 2016   04:51 Diperbarui: 12 Januari 2016   12:03 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Salah satu suasana toko buku di Palasari"][/caption]Menarik memang, ketika berbicara dengan orang tua tentang pendidikan anaknya, terutama tingkat SD, SMP atau SMA, tidak jarang pembicaraan berujung pada tertanamnya mahal buku untuk pendidikan anak mereka.

Media yang memberikan judul angker pun cukup banyak, bertuliskan "Buku Mahal" dengan berbagai embel-embel pada judul tersebut.

Disadari atau tidak, bukankah sebagian besar masyarakat kita lebih mudah mencerna informasi negatif dibandingkan positif? Sehingga dari sisi memori orang tua dan pembaca media pun hal ini dapat tertanam dengan mantap.

INDEK MINAT BACA RENDAH

Merujuk pada hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2011, indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih ‘mau’ membaca buku secara serius (tinggi). Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). (Republika)

HARGA BUKU MAHAL?

Setidaknya hampir Rp. 400,000.- biaya rata-rata buku yang dikeluarkan untuk siswa dalam satu semester. Artinya sekitar Rp. 66,000 perbulan atau sekitar Rp. 2,200 perhari. Lebih kecil dari belanja harian sebagian mereka perhari. Bagi yang tidak mampu? disinilah perlu bantuan pemerintah, misalnya dengan melengkapi perpustakaan untuk dipinjamkan kepada siswa. Tidak semua masyarakat Indonesia miskin untuk membeli buku tersebut.

BUKU ELEKTRONIK

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyediakan buku secara elektronik, salah satunya mencoba untuk menekan biaya buku bagi para pelajar yang bisa diunduh di portal kementrian tersebut. Kemudian masyarakat mencetak sendiri buku yang mereka inginkan. Penulis melihat angka yang seakan cukup besar dari jumlah unduhan, namun tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan jumlah pelajar yang ada di Indonsia dari pengguna buku tersebut.

MENCETAK MANDIRI

Berikut beberapa pertanyaan yang perlu kita jawab:

  1. Berapa persenkah penduduk Indonesia yang memiliki printer sendiri untuk mencetak buku tersebut?
  2. Apakah buku yang dicetak sendiri tersebut hasilnya lebih baik dibandingkan dengan buku yang dicetak penerbit?
  3. Betulkan lebih murah ketika setelah dicetak dan dijilid menjadi buku?
  4. Manakah yang menghasilkan minat kecintaan pada buku, buku hasil print komputer dengan buku yang dicetak melalui penerbit dan terjilid rapi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun