[caption caption="Salah satu suasana toko buku di Palasari"][/caption]Menarik memang, ketika berbicara dengan orang tua tentang pendidikan anaknya, terutama tingkat SD, SMP atau SMA, tidak jarang pembicaraan berujung pada tertanamnya mahal buku untuk pendidikan anak mereka.
Media yang memberikan judul angker pun cukup banyak, bertuliskan "Buku Mahal" dengan berbagai embel-embel pada judul tersebut.
Disadari atau tidak, bukankah sebagian besar masyarakat kita lebih mudah mencerna informasi negatif dibandingkan positif? Sehingga dari sisi memori orang tua dan pembaca media pun hal ini dapat tertanam dengan mantap.
INDEK MINAT BACA RENDAH
Merujuk pada hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2011, indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih ‘mau’ membaca buku secara serius (tinggi). Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). (Republika)
HARGA BUKU MAHAL?
Setidaknya hampir Rp. 400,000.- biaya rata-rata buku yang dikeluarkan untuk siswa dalam satu semester. Artinya sekitar Rp. 66,000 perbulan atau sekitar Rp. 2,200 perhari. Lebih kecil dari belanja harian sebagian mereka perhari. Bagi yang tidak mampu? disinilah perlu bantuan pemerintah, misalnya dengan melengkapi perpustakaan untuk dipinjamkan kepada siswa. Tidak semua masyarakat Indonesia miskin untuk membeli buku tersebut.
BUKU ELEKTRONIK
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyediakan buku secara elektronik, salah satunya mencoba untuk menekan biaya buku bagi para pelajar yang bisa diunduh di portal kementrian tersebut. Kemudian masyarakat mencetak sendiri buku yang mereka inginkan. Penulis melihat angka yang seakan cukup besar dari jumlah unduhan, namun tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan jumlah pelajar yang ada di Indonsia dari pengguna buku tersebut.
MENCETAKÂ MANDIRI
Berikut beberapa pertanyaan yang perlu kita jawab:
- Berapa persenkah penduduk Indonesia yang memiliki printer sendiri untuk mencetak buku tersebut?
- Apakah buku yang dicetak sendiri tersebut hasilnya lebih baik dibandingkan dengan buku yang dicetak penerbit?
- Betulkan lebih murah ketika setelah dicetak dan dijilid menjadi buku?
- Manakah yang menghasilkan minat kecintaan pada buku, buku hasil print komputer dengan buku yang dicetak melalui penerbit dan terjilid rapi?
BOM KENEGATIFAN BUKU
Pada akhirnya, kita lebih cenderung menemukan masyarakat tidak tertarik membeli buku, dan siswa/pelajar tidak akrab dengan buku, sebagai akibat bom informasi tentang kenegatifan penyediaan buku.
Masyarakat mampu pun demikian.
KELUAR DARI TAKUT BUKU
Berikut ini beberapa saran khususnya pada pemerintah yang mampu berperanan besar untuk keluar dari Takut Buku ini:
- Perlunya kerjasama pemerintah dengan penerbit, sehingga buku lebih terstandarisasi dan mungkin bisa dengan harga jauh lebih murah.
- Perlunya support pada masyarakat miskin melalui buku yang disediakan melalui perpustakaan sekolah yang dibiayai oleh pemerintah.
- Perlunya sosialisasi dan iklan masyarakat cinta buku di berbagai media, termasuk dalam film, sinetron, berita, dst.
- Pemerintah perlu memotori penggalakan program "Cinta Buku" dan "Bangga dengan Buku" atau sejenisnya.
Semoga catatan ini bermanfaat agar masyarakat Indonesia keluar dari Takut Buku.Â
Bukankah Buku Gudang Ilmu? (Hamzet, Kompasiana).
Aku Cinta Padamu Indonesia!
Foto: Koleksi pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H