Dalam dunia politik hasil survei seringkali menjadi acuan bagi beberapa kalangan. Namun, di balik angka-angka dan statistik tersebut terdapat narasi yang menarik untuk didalami
Angka-angka statistik itu kemudian mulai berubah menjadi percikan api dan mulai menghangatkan suhu perpolitikan di kabupaten Sukabumi
Terbukti dengan terbitnya hasil survei terbaru yang menunjukkan bahwa Iyos Somantri menduduki posisi teratas, diikuti oleh Iman Adinugraha, dan Hasim Adnan di posisi ketiga, sementara Asep Japar berada di posisi keempat yang memunculkan beragam asumsi dan komentar miring dari warga
Dari hasil survei tersebut membuat saya agak penasaran. Bagaimana nama Hasim Adnan tiba-tiba bisa muncul dan melesat meraih posisi ketiga, mengungguli nama Asep Japar , Budi Irawan, Habib Mulki dan nama-nama lain pada survei yang dilakukan oleh Skala Institute dalam pusaran calon-calon potensial lainnya
Oke lah, bila posisi Iyos Somantri atau Iman Adi Nugraha bisa berada di atas Asep Japar dan nama-nama lainnya, itu tidak begitu mengherankan, mengingat kedua nama tersebut sebelumnya memang seringkali dianggap sebagai calon bupati atau wakil bupati yang potensial, yang juga sangat sering menjadi perbincangan publik, apalagi Iyos Somantri, yang saat ini adalah sebagai Wakil Bupati aktif, agak pantas bila namanya berada di posisi yang lebih tinggi untuk dicalonkan meraih tahta teratas di Kabupaten Sukabumi ini
Namun, bagaimana bisa, nama Hasim Adnan yang sebelum April ini, yang namanya hampir tidak terdengar untuk diposisikan sebagai calon bupati, namun, dengan tenggat waktu yang singkat hanya 8 hari (22 - 30 April), namanya mampu mengalahkan 14 nama-nama yang sudah dikenal dan digadang-gadang sebagai calon bupati selama berbulan-bulan bahkan terhitung tahun.
Memang sebelum Pileg namanya sering disebut, tapi bukan sebagai Balon Bupati, melainkan sebagai calon legislatif provinsi
Maka dari persoalan yang sebetulnya terlihat sepele itu saya mulai agak skeptis terhadap hasil survei yang menurut media sukabumiupdate dirilis oleh lembaga survei skala Institute tersebut dan diterbitkan oleh media Sukabumiupdate pada Minggu 6 Mei 2024, itu.
Melihat dari rentetannya, saya seolah dipaksa untuk percaya atas dugaan dari beberapa orang yang mengatakan bahwa survei itu merupakan sebuah survei pesanan.
Apalagi hasil survei itu dipublish sesaat setelah acara deklarasi 5 partai yang membentuk koalisi untuk Pilkada Kabupaten Sukabumi 2024. Dan di antara nama-nama yang masuk dalam hasil survey tertinggi itu adalah bagian dari koalisi tersebut. Nah lo
Kemudian setelah acara deklarasi 5 partai itu, Iyos Somantri secara cepat memberikan tanggapan yang positif terhadap deklarasi tersebut, sebetulnya tidak ada yang aneh dan janggal sih. Tetapi kejanggalan itu muncul, ketika dibandingkan dengan acara deklarasi Koalisi partai Golkar-Gerindra dan PPP beberapa waktu lalu, mengapa ketika itu dia tidak memberikan ucapan yang sama? Secara, Iyos itu saat ini masih berstatus sebagai pejabat negara yaitu wakil bupati Sukabumi yang seharusnya memberikan perlakuan yang sama terhadap koalisi yang lain. (Kecuali ada hal-hal lain, seperti lupa ataupun tidak dimintai tanggapan misalnya, itu lain cerita.)
Karena kondisi tersebut, bisa jadi orang-orang mengasumsikan bahwa Iyos, Iman, dan Hasim adalah bagian dari satu kelompok atau "kolam" yang sama dan tengah membuat panggung politik untuk ditonton masyarakat Sukabumi. Memang, sebetulnya tidak ada yang salah jika mereka se-"kolam", dan membuat hiasan pada panggung politik yang mereka buat. Namun dalam konteks survei, hal ini bisa menimbulkan pertanyaan terkait kesesuaian dan obyektivitas survei tersebut dengan kondisi yang dirasakan masyarakat.
Dan tidaklah aneh jika ada suara-suara yang meragukan dan menduga bahwa survei tersebut merupakan survei pesanan. Terutama karena survei yang dikerjakan oleh tim Skala Institute bekerja sama dengan Litbang Sukabumiupdate menempatkan para kandidat yang menduduki peringkat atas adalah orang-orang dari koalisi yang diinisiasi oleh Iman Adinugraha dan Hasim Adnan itu sendiri.
Berkaitan dengan survei, tentu tidak jauh dari anggaran. Dan tentu pula survei tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit, bahkan dikatakan bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta. Pertanyaan yang muncul adalah, siapa yang membiayai survei tersebut? Jika survei dilakukan untuk kepentingan internal mereka sendiri, tidak menjadi masalah.
Namun bila hasil survei itu dipublish di khalayak umum, dan ditemukan banyak keganjilan seperti yang telah dibahas di atas tentu itu akan menjadi pertanyaan bagi masyarakat luas.
Dan lanjutannya masyarakat juga pasti akan mempertanyakan bagaimana lembaga survei itu bekerja dan mendapatkan hasil seperti itu, kemudian pertanyaan demi pertanyaan seperti apa motif dibalik survei itu, darimana dan siapa yang memberikan pendanaan terhadap survei tersebut, tentu akan menjadi pertanyaan yang lumrah dan jamak.
Dan saya harap yang membuat survei ini jangan 'baper'
Untungnya, meskipun hasil survei itu tidak mencerminkan fakta di lapangan atau berkesesuaian dengan realita yang ada, itu tidak menimbulkan dampak-dampak hukum.
Dikarenakan tidak ada larangan dan belum ada aturan yang mengaturnya, (Koreksi bila salah) maka semua itu akan tetap baik-baik saja. Tetapi pertanyaannya apakah itu tidak menciderai nilai etika dan moral ? Silahkan aja kawan-kawan nilai dan jawab sendiri
Kemudian, saya ingin mengulas sedikit tentang kredibilitas lembaga survei Skala Institute yang telah merilis hasil survei tersebut. Menurut beberapa sumber, lembaga survei yang dapat dipercaya indikatornya adalah memiliki reputasi yang baik, pengalaman, keahlian, dan sudah pula terverifikasi oleh KPU atau minimal terdaftar di organisasi profesi seperti Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi).
Terus terang bagi saya pribadi, sulit untuk mempercayai hasil survei yang dibuat oleh Skala Institute ini, meskipun dikatakan telah melalui metode seperti yang dilakukan lembaga survei lainnya.
Apa sebab, karena setelah saya lakukan pencarian informasi yang mendalam lembaga survei ini jangankan terdaftar dan terverifikasi di KPU, bahkan di Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) nama lembaga ini ternyata belum terdaftar.
Yang lebih menggelikan lagi adalah ketika saya mencari informasi secara luas di internet terkait keberadaan lembaga survei itu, ternyata mereka bahkan tidak memiliki situs/ website yang bisa diakses oleh publik.
Oleh karena itu saya pun bertanya-tanya, apakah saya yang salah mengetik kata kunci dalam pencarian, atau memang lembaga survei ini memang tidak memiliki sebuah situs yang sebetulnya harganya tidak seberapa.?
Sebagai pembanding, sebanyak 81 lembaga survei yang terverifikasi di KPU telah saya cek satu persatu, bahkan lembaga survei yang jarang terekspos di media massa sekalipun ternyata semuanya mempunyai situs atau web berikut dengan informasi yang lengkap tentang latar belakang, metodologi penelitian, tim peneliti, dan hasil-hasil survei sebelumnya.
Anehnya lagi, ketika saya mencari nama lembaga tersebut, yang selalu muncul adalah pemberitaan dari situs Sukabumiupdate.
Lalu bagaimana mereka bisa meyakinkan masyarakat, sedangkan sumber datanya tidak bisa terkonfirmasi secara baik.
Bahkan saking kepo nya , saya sampai telusuri nama direktur lembaga survei Skala Institute yang katanya bernama Wahyu Ginanjar itu. Dan sama saja, nama tersebut tidak muncul sebagai direktur dari lembaga tersebut. Yang muncul Wahyu Ginanjar sebagai pegawai bank😁
Mohon maaf sebelumnya, saya membuat tulisan ini bukan atas kebencian ataupun atas permintaan dari seseorang, tapi ini murni atas kegelisahan dan keingintahuan saya pribadi terhadap persoalan survei-survei'an yang telah saya uraikan di atas.
Azhar Vilyan
Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi politik Universitas Paramadina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H