Apalagi hasil survei itu dipublish sesaat setelah acara deklarasi 5 partai yang membentuk koalisi untuk Pilkada Kabupaten Sukabumi 2024. Dan di antara nama-nama yang masuk dalam hasil survey tertinggi itu adalah bagian dari koalisi tersebut. Nah lo
Kemudian setelah acara deklarasi 5 partai itu, Iyos Somantri secara cepat  memberikan tanggapan yang positif terhadap deklarasi tersebut, sebetulnya tidak ada yang aneh dan janggal sih. Tetapi kejanggalan itu muncul, ketika dibandingkan dengan acara deklarasi Koalisi partai Golkar-Gerindra dan PPP beberapa waktu lalu, mengapa ketika itu dia tidak memberikan ucapan yang sama? Secara, Iyos itu saat ini masih berstatus sebagai pejabat negara yaitu wakil bupati Sukabumi yang seharusnya memberikan perlakuan yang sama terhadap koalisi yang lain. (Kecuali ada hal-hal lain, seperti lupa ataupun tidak dimintai tanggapan misalnya, itu lain cerita.)
Karena kondisi tersebut, bisa jadi orang-orang mengasumsikan bahwa Iyos, Iman, dan Hasim adalah bagian dari satu kelompok atau "kolam" yang sama dan tengah membuat panggung politik untuk ditonton masyarakat Sukabumi. Memang, sebetulnya tidak ada yang  salah jika mereka se-"kolam", dan membuat hiasan pada panggung politik yang mereka buat. Namun dalam konteks survei, hal ini bisa menimbulkan pertanyaan terkait kesesuaian dan obyektivitas survei tersebut dengan kondisi yang dirasakan masyarakat.
Dan tidaklah aneh jika ada suara-suara yang meragukan dan menduga bahwa survei tersebut merupakan survei pesanan. Terutama karena survei yang dikerjakan oleh tim Skala Institute bekerja sama dengan Litbang Sukabumiupdate menempatkan para kandidat yang menduduki peringkat atas adalah orang-orang dari koalisi yang diinisiasi oleh Iman Adinugraha dan Hasim Adnan itu sendiri.
Berkaitan dengan survei, tentu tidak jauh dari anggaran. Dan tentu pula survei tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit, bahkan dikatakan bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta. Pertanyaan yang muncul adalah, siapa yang membiayai survei tersebut? Jika survei dilakukan untuk kepentingan internal mereka sendiri, tidak menjadi masalah.
Namun bila  hasil survei itu dipublish di khalayak umum, dan ditemukan banyak keganjilan seperti yang telah dibahas di atas tentu itu akan menjadi pertanyaan bagi masyarakat luas.
Dan lanjutannya masyarakat juga pasti akan mempertanyakan bagaimana lembaga survei itu bekerja dan mendapatkan hasil seperti itu, kemudian pertanyaan demi pertanyaan seperti apa motif dibalik survei itu, darimana dan siapa yang memberikan pendanaan terhadap survei tersebut, tentu akan menjadi pertanyaan yang lumrah dan jamak.
Dan saya harap yang membuat survei ini jangan 'baper'
Untungnya, meskipun hasil survei itu tidak mencerminkan fakta di lapangan atau berkesesuaian dengan realita yang ada, itu tidak menimbulkan dampak-dampak hukum.
Dikarenakan tidak ada larangan dan belum ada aturan yang mengaturnya, (Koreksi bila salah) maka semua itu akan tetap baik-baik saja. Tetapi pertanyaannya apakah itu tidak menciderai nilai etika dan moral ? Silahkan aja  kawan-kawan nilai dan jawab sendiriÂ
Kemudian, saya ingin mengulas sedikit tentang kredibilitas lembaga survei Skala Institute yang telah merilis hasil survei tersebut.  Menurut beberapa sumber, lembaga survei yang dapat dipercaya indikatornya adalah memiliki reputasi yang baik, pengalaman, keahlian, dan sudah pula terverifikasi oleh KPU atau minimal terdaftar di organisasi profesi seperti Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi).