Mohon tunggu...
Ingrit Dilla Farizna
Ingrit Dilla Farizna Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Hukum UIN Jakarta

SINE AMOR NIHIL EST VITA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sisi Feminisme dalam Gugurnya Ketaatan Istri kepada Suami

25 Juli 2022   01:22 Diperbarui: 25 Juli 2022   01:40 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam ayat tersebut, secara konkret Allah SWT menjelaskan tentang hak dan kewajiban yang diberikan kepada laki-laki, yaitu kekuatan lebih untuk menjadi pemimpin bagi keluarganya. Seorang laki-laki harus siap menanggung segala resiko dan konsekuensi apabila ia merasa mampu untuk menikahi wanita, baik mampu secara materi atau non materi.

Namun, terdapat suatu yang menarik dalam isi ayat tersebut. Ayat di atas tidak secara dominan menyebut tentang kekuasaan laki-laki terhadap kepatriarkalnya. Kesamaan derajat terhadap laki-laki dan perempuan diatur secara gamblang dalam ayat tersebut. Apa sisi feminis yang dimaksud surat An-Nisa ayat 34 itu?

Ulasan yang dapat kita cerna secara mudah dalam ayat ini, pertama adalah laki-laki adalah pelindung sekaligus pemimpin bagi perempuan. Kedua, laki-laki harus menafkahi. Ketiga, wanita (istri) wajib taat kepada laki-laki (suaminya). Ayat ini menyinggung kata "taat" yang diberikan kepada wanita. Sehingga dalam masyarakat awam, kata tersebut beredar dalam masyarakat dan memunculkan perspektif jika seorang istri tidak taat kepada suaminya maka ia terkena sanksi agama, yaitu dosa.

Apalagi untuk era modern saat ini, perspektif tersebut juga tidak bisa dihindari, sehingga sudah menempel dengan kokoh dan menjadi dogma di dalam masyarakat. Tentu saja perspektif tersebut telah menakut-nakuti perempuan dalam sisi kebebasannya. Dengan demikian, apakah seorang istri harus taat terus menerus kepada suaminya?

Jawabannya adalah tidak. Seorang istri boleh saja untuk tidak mentaati suaminya karena alasan tertentu. Istri boleh untuk tidak mentaati suaminya (Nusyuz) apabila suaminya tidak menafkahi dirinya lagi. Ketentuan tersebut sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama, bahwa seorang istri boleh untuk tidak mentaati suami selama suaminya itu tidak memberikan nafkah kepada sang istri.

Nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti sandang, pangan, dan papan. Nafkah merupakan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam rumah tangga. Sebagaimana Kompilasi Hukum Islam juga mengatur hak dan kewajiban suami istri yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dalam Bab XII Pasal 80 bagian ketiga tentang kewajiban suami memenuhi kebutuhan istrinya.

Suami berkewajiban menafkahi istri untuk seluruh kebutuhan rumah tangga tersebut. Sehingga, apabila suami mengabaikan atau tidak mampu lagi memberikan kewajibannya dalam menafkahi, maka kewajiban istri dalam mentaati suaminya gugur.

Senada pendapat jumhur ulama, ketika suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya, si istri boleh untuk tidak memberikan pelayanan kepada suaminya. Bahkan dalam keterangan lain, nafkah yang tidak diberikan tersebut dapat dicatatkan sebagai hutang sehingga harus dilunasi oleh si suami pada suatu hari.

Dalam persoalan tersebut, secara langsung Allah SWT mengutarakan bagaimana makna kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di dalam hubungan rumah tangga. Karena pasangan suami istri bukanlah tentang siapa yang paling dominan di dalamnya, tetapi saling diantara satu sama lainnya, sebagaimana perintah Allah SWT bahwa "kamu adalah sebagian dari pasanganmu". Begitulah Allah menerangkan bahwa seorang suami merupakan sebahagian dari istrinya, begitupun sebaliknya.

Oleh karena itu, dalam ikatan pernikahan suami istri memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi bersama. Karena yang demikian itu supaya tidak terjadinya perasaan tidak puas yang dapat mengakibatkan konflik lainnya dalam hubungan rumah tangga.

Dengan demikian, hak dan kewajiban wajib untuk ditunaikan dalam menempuh ibadah pernikahan ini. Sehingga rumah tangga yang dibentuk pun terasa sakina, mawadah, serta warahmahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun