Pernikahan merupakan hal yang didambakan bagi setiap manusia untuk menyalurkan fitrahnya dalam mencintai pasangannya. Selain bentuk cinta, pernikahan juga dianggap sebagai ibadah yang menggenapkan setengah dari agama seseorang.
Seseorang yang sudah sanggup untuk menikah berarti dirinya telah sanggup untuk menjalankan segala hak dan kewajiban terhadap satu sama lain. Oleh karena itu, setelah menikah suami dan istri wajib untuk bekerja sama dalam menyeimbangkan hak dan kewajibannya, seperti berbagi pikiran dan perasaan, beradaptasi satu sama lain, saling menyayangi dan mencintai, saling membutuhkan, dan saling memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dalam rumah tangganya.
Di antara salah satu kebutuhan utama dalam menjalankan hubungan rumah tangga ini adalah kewajiban suami untuk menafkahi istrinya. Telah banyak dijumpai pada masyarakat kita, bahwa permasalahan yang timbul dalam rumah tangga adalah masalah finansial, mulai dari nafkah yang tidak mencukupi hingga seorang wanita yang tidak diberikan nafkah lagi padahal masih berstatus sebagai istri. Persoalan tersebut seringkali berujung pada perceraian.
Kewajiban menafkahi adalah kewajiban yang timbul sebagai akibat perbuatannya yang memiliki tanggung jawab, yaitu berupa pembayaran sejumlah biaya guna memenuhi kebutuhan orang yang berada dalam tanggungannya. Pada dasarnya, kewajiban memberikan nafkah dibebankan kepada suami sebagai kepala keluarga. Istri yang telah dinafkahi oleh suaminya wajib untuk mentaatinya.
Lantas, bolehkah seorang perempuan berhenti menaati suaminya apabila sudah tidak diberikan nafkah lagi?
Dari Nafkah hingga Sisi Feminisme Q.S An-Nisa: 34
Perempuan, subjek kelas dua di dalam masyarakat yang sering kali dianggap lemah dan terbelakang. Lantaran paradigma masyarakat yang selalu menekan bahwa laki-laki merupakan superior dalam aspek kehidupan; pekerjaan, pendidikan, politik, dan keluarga.
Pandangan masyarakat telah membebankan bahwa perempuan sejatinya tinggal di rumah, mengurus keluarga dan anak. Sebaliknya, laki-laki mendapat peran sebagai pekerja di luar rumah, pemimpin, atau kepala rumah tangga di dalam keluarga.
Dalam keluarga, sosok laki-laki dijadikan pemeran utama sebagai kepala rumah tangga. Tentu saja tugas dari kepala rumah tangga adalah memimpin, melindungi, menyayangi, dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dalam Islam, laki-laki dipercaya sebagai kepala rumah tangga karena ia diberikan kekuatan lebih oleh Allah SWT untuk bertanggung jawab terhadap keluarganya.
Sebagaimana dijelaskan kedudukan laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan. Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 34:
Yang artinya: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat (kepada Allah) lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar".