Jika tidak, anak-anak di zaman milenial ini sulit mempercayainya, dan jika terpaksa mereka hanya menganggap itu adalah mitos belaka.
Selain pembuktian, para tertua adat yang masih hidup juga tidak mampu melestarikan kebiasaan itu. Hal ini dikarenakan beberapa hal:
- Ono Niha zaman dahulu keinginannya adalah "Mangai Toi" (mengambil nama). Ti (nama) menjadi sesuatu yang sangatlah diperjuangkan, karena dengan adanya Ti, ia dapat dihormati, dijamu, dan mampu berkata-kata dimana pun berada. Ti itu barulah bisa di dapatkan jika mampu melewati tahapan tertentu sehingga bosi itu tercapai. Namun dalam kenyataannya, orang saat ini kadang kala tidak memperhitungkan ti itu.
- Pembiayaan yang cukup besar. Dalam proses mencari nama Balugu, semuanya akan dibarengi dengan biaya yang cukup besar. Mulai dari banyaknya babi yang digunakan hingga keperluan lain. Kegiatan ini dilakukan bukan hanya sekali dua kali, melainkan hingga berkali-kali hingga mencapai tingkatan tertentu. Semua ini dalam tingkatan ada dikatakan "ma me g mbanua" (memberi makan orang sekampung). Orang saat ini lebih mengutamakan biaya sekolah anaknya dari pada pesta yang tidak jelas.
- Waktu yang cukup lama. Selain biaya yang cukup membebani dalam setiap tingkatan pesta, waktu yang berhari-hari juga sangat menguras tenaga. Orang yang saat ini sibuk dengan dunia pekerjaan masing-masing, membuat kejadian di tetangganya pun kadang kala tidak diketahui.
Budaya Orang Nias Katolik Menyambut Tamu:
Hadirnya Gereja Katolik di tanah Nono Niha merasa bahwa adat tersebut juga memiliki nilai luhur yang terkandung di dalamnya.Â
Maka, tidaklah salah jika budaya itu diangkat dan dicoba untuk dikolaborasikan dengan kebiasaan yang ada dalam Gereja Katolik. Hal inilah yang kemudian sering sekali disebut dengan Inkulturasi.
Dalam hal penyambutan tamu besar khususnya pimpinan tertinggi, dalam hal ini Bapak Uskup Keuskupan Sibolga, Ono Niha memperlakukannya layaknya seorang Balugu atau Tuhenri.Â
Penyamaan kedudukan ini bukanlah semata-mata sebagai seremonial penyambutan. Proses ini pertama-tama sebagai wujud dari semangat Gereja Katolik yang menyerukan adanya Inkulturasi.
Ritual Fangosa' dalam budaya Nono Niha suatu aplikasi dari Umat Katolik Dekanat Nias dalam kerangka inkulturasi.
Ono Niha Katolik menyadari bahwa adat yang kaya akan nilai luhur, sudah sepantasnya dilestarikan keberadaanya.Â
Bosi yang sulit didapatkan dalam ritual menjadi seorang Balugu, sungguh membuat budaya tandu ini tidak lagi bisa dirasakan keberadaannya dalam ritual adat Nono Niha.Â
Namun Ono Niha Katolik merasa terpanggil untuk melestarikannya. Dalam hal ini, Uskup yang merupakan Pimpinan Tertinggi layak dan mungkin lebih dari Balugu itu sendiri.
"Kehadiran Gereja dalam budaya, bukan untuk menghapuskan budaya. Akan tetapi, kehadiran Gereja untuk mencerahi budaya itu sendiri." tegas Mgr. Antoni Guido Filipazzi, Duta Besar Vatikan Untuk Indonesia dalam Acara Sambung Rasa Berasama Umat Katolik Keuskupan Sibolga dalam rangka Sinode Ke 2 Keuskupan Sibolga.