"HIV/AIDS di Surabaya Menyerang Usia Produktif, Terbanyak Gara-Gara Pemakaian Narkoba dan Seks Bebas" Ini judul berita di radarsurabaya.jawapos.com (13/11/2024).
Informasi di judul berita ini misleading (menyesatkan), karena:
Pertama, HIV sebagai virus tidak menyerang. HIV menular dari pengidap HIV/AIDS ke orang lain terutama melalui cara ini, yaitu: Hubungan seksual penetrasi (oral, vaginal atau anal) di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
Kedua, HIV tidak memilih sasaran sehingga risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi para rentang usia remaja sampai lanjut usia (Lansia),
Ketiga, kasus HIV/AIDS pada usia produktif adalah realitas karena pada rentang usia ini libido tinggi yang tidak bisa disubsitusi dengan kegiatan selain hubungan seksual,
Baca juga: AIDS pada Usia Produktif di Yogyakarta bukan Ironis tapi Realistis (Kompasiana, 7/9/20218)
Keempat, kasus HIV/AIDS banyak pada rentang usia produktif karena mereka tidak memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang berpijak pada fakta medis,
Kelima, mamakai Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) tidak otomatis berisiko tertular HIV/AIDS, buktinya pasien yang menjalani pembedahan (operasi) di rumah-rumah sakit di dunia memakai Narkoba (antara lain morfin) sebagai obat anestesi.
Keenam, 'seks bebas' adalah terminologi yang ngawur bin ngaco karena tidak jelas artinya. Ini merupakan terjemah bebas dari 'free sex' yang di awal tahun 1970-an dikaitkan dengan gaya hidup hippies.
Celakanya, dalam kamus-kamus Bahasa Inggris-Indonesia tidak ada laman 'free sex.' Yang ada ada adalah 'free love' yaitu hubungan seksual tanpa ikatan nikah (The Advanced Learner's Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, 1963).
Ketujuh, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (dalam berita disebut seks bebas), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual penetrasi, di dalam dan di luar nikah, yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis!
Informasi yang menyesatkan seperti di judul berita ini merupakan salah satu bentuk materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang jadi kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Dalam berita disebut: Dari data yang dihimpun, sepanjang Januari hingga Oktober 2024, tercatat sebanyak 234 kasus pasien aktif di Surabaya dengan antiretroviral therapy (ART) .... Yang perlu diingat angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Kota Surabaya terus terjadi tanpa disadari oleh warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Hal ini bisa terjadi karena pengidap HIV/AIDS tidak otomatis menunjukkan gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri khas AIDS pada fisik dan tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas HIV/AIDS.
Baca juga: Tidak Semua Gejala Penyakit yang Dikaitkan dengan HIV/AIDS Otomatis Terkait Langsung dengan Infeksi HIV/AIDS (Kompasiana, 14 Agustus 2024)
Ada lagi pernyataan: Menurut pakar Imunologi dan Mikrobiologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair), Dr dr Agung Dwi Wahyu Widodo MSi MKedKlin, salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya kasus HIV/AIDS pada usia produktif adalah perilaku drug use (pemakaian narkoba) dan free sex (seks bebas).
Tidak jelas apakah ini kuotasi (kutipan langsung) dari pernyataan narasumber atau interpretasi wartawan. Soalnya, secara empiris pemakaian Narkoba, disebut drug use yang merupakan istilah yang sudah lama dihilangkan WHO, tidak otomatis berisiko tertular HIV/AIDS.
Risiko penularan HIV/AIDS melalui penyalahgunaan Narkoba bisa terjadi di kalangan penyalahguna dengan memakai jarum suntik secara bersama-sama dan dipaki bergiliran. Kalau hanya memakai Narkoba oral tidak ada risiko tertular HIV/AIDS, bahkan dengan suntikan pun tidak ada risiko tertular HIV/AIDS jika dipakai sendirian. Ini fakta!
Ada lagi pernyataan: Sedangkan dalam aspek imunologi, HIV/AIDS menyerang sel CD4 dalam sistem kekebalan tubuh hingga melemahkan sistem imun.
Pernyataan ini tidak akurat karena HIV tidak menyerang sel CD4, tapi HIV sebagai retrovirus menggandakan diri di sel-sel darah putih manusia yang menyebabkan sel rusak. HIV yang baru diproduksi mencari sel darah putih lain untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya sehingga kian banyak sel darah putih yang rusak membuat sistem kekebalan tubuh rendah.
Disebutkan dalam berita: Dengan upaya yang bisa dilakukan sedini mungkin adalah dengan memberikan edukasi dan informasi yang benar terkait cara mencegah HIV/AIDS. Khususnya pada gen Z, mahasiswa dan usia produktif.
Sosialisasi sudah dilakukan pemerintah dan pihak-pihak lain sejak awal epidemi yang diakui pemerintah pada tahun 1987, sedangkan epidemi globat diakui dunia sejak tahun 1981, tapi hasilnya NOL BESAR. Hal ini terjadi karena materi HIV/AIDS pada KIE, seperti yang diumbar dalam berita ini, tidak akurat.
Bahkan, informasi HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama yang justru menenggelamkan fakta medis dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).
Apalagi di era media sosial ini beragam informasi berseliweran tanpa didukung oleh tanggung jawab sosial karena tidak ada lagi kontrol pemerintah.
Dalam sebuah laporan jurnal kesehatan internasional disebutkan bahwa Indonesia, negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, juga memiliki jumlah infeksi HIV baru terbesar keempat per tahun. Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) memperkirakan bahwa di Indonesia 73.000 kasus infeksi HIV baru per tahun, hanya tertinggal dari China, India, dan Rusia (aidsmap.com).
Dengan kasus baru infeksi HIV yang terus terjadi di Indonesia tanpa penanggulangan yang realistis, maka bisa jadi tahun 2045 bukan 'generasi emas.' <>
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H