Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pengenalan Bukan Penyediaan Alat Kontrasepsi dalam Pelayanan Kesehatan Reproduksi Anak Usia Sekolah dan Remaja

8 Agustus 2024   14:42 Diperbarui: 8 Agustus 2024   14:44 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingar-bingar dan hiruk-pikuk pro dan kontra soal alat kontrasepsi terkait dengan upaya kesehatan sistem reproduksi anak usia sekolah dan remaja seperti diatur di Pasal 103 ayat 2 di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 menguras tenaga dan pikiran yang akhirnya bak debat kusir dan jadi kontra produktif.

Pada pasal-pasal tentang kesehatan reproduksi di PP itu disebutkan di Pasal 99 (1) Upaya Kesehatan reproduksi meliputi: a. masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan.

Celakanya, tidak ada penjelasan yang eksplisit tentang siapa yang dimaksud dengan (a) masa sebelum hamil: apakah pasangan usia sekalah dan remaja yang baru menikah atau pasangan usia subur yang sudah menikah?

Penjelasan yang eksplisit tentang siapa yang dimaksud sebelum hamil jadi penting karena terkait dengan Pasal 101 ayat 1: Upaya Kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup yaitu b. Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja.

Ketika bicara soal kesehatan reproduksi bagi usia sekolah dan remaja, remaja putra sudah mimpi basah dan remaja putri sudah menstruasi, mereka sudah berada pada tahap dengan libido (KBBI: nafsu berahi yang bersifat naluri) tinggi yaitu hasrat berupa dorongan untuk melakukan hubungan seksual. Secara alamiah libido tidak bisa disubsitusi dengan kegiatan lain biarpun ada 'swalayan' yaitu onani bagi putra dan masturbasi bagi putri karena hal ini tidak sepenuhnya memuaskan.

Dalam konteks inilah muncul perilaku seksual berisiko dan akibatnya seperti yang disebut di Pasal 103 ayat 2 huruf c.

Akibat yang ditimbulkan perilaku seksual berisiko ada dua, yaitu:

Pertama, kehamilan yang terjadi karena hubungan seksual (seks vaginal) tanpa memakai kontrasepsi (kondom, pil, IUD, suntik KB), penanggalan atau tidak menerapkan coitus interruptus (air mani dikeluarkan di luar vagina atau kelokur di lokur).

Baca juga: Kelokur di Lokur Kok Bisa Hamil?

Kedua, hubungan seksual penetrasi (seks oral, vaginal atau anal) tanpa memakai kondom bisa tertular HIV/AIDS atau penyakit infeksi menular seksual (PIMS: GO/kencing nanah, sifilis/raja singa, virus hepatitis B, virus kanker serviks, klamidia dan lain-lain) atau keduanya sekaligus jika tidak diketahui status HIV/AIDS dan PIMS pasangan.

Jika dikaitkan dengan perilaku seksual berisiko dan akibatnya pada usia sekolah dan remaja yang dalam PP diatur di Pasal 103 ayat 4 e disebut upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja yaitu pelayanan kesehatan reproduksi paling sedikit meliputi penyediaan alat kontrasepsi.

Narasi pasal itu memang tidak proporsional karena kalau perilaku berisiko dikaitkan dengan tertular penyakit, HIV/AIDS dan PIMS, tidak semua alat kontrasepsi bisa mencegah penularan HIV/AIDS dan PIMS. Yang bisa hanya kondom.

Kalau dikaitkan dengan risiko kehamilan, maka apakah sasarannya usia sekolah dan remaja? Jelas tidak karena mereka belum atau tepatnya tidak terikat dengan hubungan dalam perkawinan atau pernikahan.

Maka, sejatinya bukan 'penyediaan alat kontrasepsi' tapi pengenalan alat-alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja yang dikaitkan dengan risiko kehamilan dan tertular penyakit (HIV/AIDS atau PIMS) akibat perilaku seksual berisiko.

Tapi, perlu diingat alat kontrasepsi yang dikenalkan tidak hanya yang dipakai perempuan semata, tapi juga yang bisa dilakukan laki-laki yaitu selain kondom juga vasektomi.

Di tahun 1980-an sampai 1990-an saya sering mewawancarai (Alm) Mas Ton (Sartono Mukadis, psikolog di UI) yang selalu mengingatkan agar jangan memberikan penjelasan terkait masalah seksualitas tanpa ada pertanyaan dari anak. Itu artinya pasal-pasal di PP ini memberikan penjelasan tentang seksualitas ke anak usia sekolah dan remaja dengan format dan alam pikiran dewasa.

Penulis juga pernah mewawancarai seorang perempuan asli Indonesia yang menikah dengan pria Jepang yang bekerja di Indonesia.

Ketika anak-anak, laki-laki dan perempuan, masih kecil mereka mandi bersama-sama sambil memberikan informasi tentang organ-organ reproduksi sesuai dengan pertanyaan anak. Suami-istri itu selalu menekankan bahwa organ-organ reproduksi itu akan dipakai pada waktunya.

Nah, ketika putranya mengatakan bahwa dia sudah mimpi basah si ibu pun menyerahkan putranya ke ayahnya. Sayang, sang ayah, lelaki Jepang, itu tidak bersedia menjelaskan apa dan bagaimana dia memperlakukan putranya yang sudah mimpi basah itu. Sedangkan putrinya ketika menstruasi jadi urusan si ibu.

Baca juga: Anda Bisa Tiru Cara Keluarga Jepang Ini Lakukan Edukasi Seks

Dalam PP ini di Pasal 102 tentang Upaya Kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah sejatinya jadi bagian tanggung jawab orang tua seperti yang dilakukan keluagara Jepang/Indonesia tadi, yaitu di huruf:

b. mengedukasi balita dan anak prasekolah agar mengetahui organ reproduksinya;

c. mengedukasi mengenai perbedaan organ reproduksi lakilaki dan perempuan;

d. mengedukasi untuk menolak sentuhan terhadap organ reproduksi dan bagian tubuh yang dilarang untuk disentuh;

Masalahnya adalah pembicaraan tentang seksualitas di Indonesia selalu dihadang tabu [KBBI: hal yang tidak boleh yang disentuh, diucapkan, dan sebagainya karena berkaitan dengan kekuatan supernatural yang berbahaya (ada risiko kutukan); pantangan; larangan].

Padahal, yang tabu adalah perbuatan berupa pelecehan seksual dan kekerasan seksual yang justru menjadi-jadi sehingga membuat negeri ini 'darurat kejahatan seksual.'

Selain karena ancaman hukumannya ringan, setengah orang, terutama kaum perempuan, justru menyalahkan korban (baca: perempuan). Ini membuat laki-laki di atas angin sehingga tergiur melakukan kekerasan seksual, terutama terhadap bayi, anak-anak dan remaja. <>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun