Baca juga: Penyumbang Kasus HIV/AIDS Bukan LGBT tapi Heteroseksual
Disebutkan dalam berita: Sampai akhir 2023 Jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 414 kasus.
Namun, perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi (414) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Maka, yang jadi persoalan besar bukan kasus HIV/AIDS pada gay, tapi kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat karena mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Celakanya, di Indonesia tidak ada mekanisme untuk menjaring warga yang tidak terdeteksi mengidap HIV/AIDS tanpa melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Menurut dr Maxi (Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Subang-pen.), sulitnya pengawasan praktik prostitusi online dan penyuka sesama jenis atau LGBT menjadi pendorong angka HIV/AIDS sulit terkontrol.
Praktik prostitusi online dan perilaku seksual berisiko lain ada di ranah privasi sehingga mustahil bisa dijangkau. Itulah sebabnya yang bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS hanya orang per orang.
Baca juga: Hanya Orang per Orang yang Bisa Memutus Mata Rantai Penularan HIV/AIDS Melalui Hubungan Seksual
Untuk itu warga perlu memperoleh informasi HIV/AIDS yang akurat dengan pijakan fakta medis bukan informasi yang dibalut dengan norma, moral dan agama karena ini hanya akan menghasilkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.