"Penyebab penularan penyakit HIV/AIDS tersebut masih didominasi seks bebas, prostitusi online, dan hubungan sesama jenis atau LGBT. Kaum LGBT di Kabupaten Subang ini telah menyumbangkan 33% kasus HIV/AIDS." Ini ada dalam berita "Jumlah Kasus HIV/AIDS Baru di Subang Terus Meningkat" (mediaindonesia.com, 20/6/2024).
Ada beberapa hal yang tidak akurat dalam kutipan pernyataan di atas, yaitu:
Pertama, 'penularan penyakit HIV/AIDS' tidak benar karena HIV/AIDS bukan penyakit. HIV adalah virus (ini yang menular), sedangkan AIDS adalah kondisi orang-orang yang tertular HIV/AIDS yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral (ART-antiretroviral theraphy).
Kedua, tidak jelas apa yang dimaksud dengan 'seks bebas' dalam pernyataan itu. Kalau 'seks bebas' dimaksudkan sebagai zina atau hubungan seksual di luar nikah baik dengan pekerja seks komersial (PSK), cewek prostitusi online atau dengan perempuan lain, maka pernyataan itu mitos (anggapan yang salah).
Soalnya, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, terjadi bukan karena sifat hubungan seksual (zina atau hubungan seksual di luar nikah), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis!
Maka, bukan 'seks bebas' yang berisiko tinggi jadi media penularan HIV/AIDS, tapi hubungan seksual berisiko yaitu hubungan seksual yang tidak aman, yaitu:
- hubungan seksual tanpa kondom oleh laki-laki atau perempuan (seks oral, vaginal atau anal), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya karena bisa saja salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS,
- hubungan seksual tanpa kondom oleh laki-laki dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK dan cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya karena bisa saja salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS,
- hubungan seksual tanpa kondom (seks oral, vaginal atau anal) oleh perempuan dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya karena bisa saja salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS
- hubungan seksual tanpa kondom (seks anal atau seks oral) oleh laki-laki dengan Waria, yang tidak diketahui status HIV-nya karena bisa saja salah satu dari Waria tersebut mengidap HIV/AIDS
Ketiga, pernyataan 'hubungan sesama jenis atau LGBT' ini ngawur karena seks pada lesbian bukan faktor risiko penularan HIV/AIDS. Tidak ada seks penetrasi pada kontak seksual pasangan lesbian.
Baca juga: Kaitkan Lesbian Langsung dengan Penyebaran HIV/AIDS Adalah Hoaks
Dengan 33% kasus HIV/AIDS pada gay di Subang tentulah kabar baik karena mengurangi risiko penularan horizontal kepada perempuan yang pada gilirannya juga menurunkan risiko penularan vertikal HIV/AIDS dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Kalau yang 67% kasus HIV/AIDS di Subang ada pada kalangan heteroseksual, nah ini yang baru jadi masalah besar karena mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Baca juga: Penyumbang Kasus HIV/AIDS Bukan LGBT tapi Heteroseksual
Disebutkan dalam berita: Sampai akhir 2023 Jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 414 kasus.
Namun, perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi (414) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Maka, yang jadi persoalan besar bukan kasus HIV/AIDS pada gay, tapi kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat karena mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Celakanya, di Indonesia tidak ada mekanisme untuk menjaring warga yang tidak terdeteksi mengidap HIV/AIDS tanpa melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Menurut dr Maxi (Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Subang-pen.), sulitnya pengawasan praktik prostitusi online dan penyuka sesama jenis atau LGBT menjadi pendorong angka HIV/AIDS sulit terkontrol.
Praktik prostitusi online dan perilaku seksual berisiko lain ada di ranah privasi sehingga mustahil bisa dijangkau. Itulah sebabnya yang bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS hanya orang per orang.
Baca juga: Hanya Orang per Orang yang Bisa Memutus Mata Rantai Penularan HIV/AIDS Melalui Hubungan Seksual
Untuk itu warga perlu memperoleh informasi HIV/AIDS yang akurat dengan pijakan fakta medis bukan informasi yang dibalut dengan norma, moral dan agama karena ini hanya akan menghasilkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Dalam berita ini, misalnya, tidak ada informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat.
Akibatnya, banyak yang hanya terpapar informasi di media sosial (Medsos), juga media massa dan media online, yang mengumbar mitos.
Jika ini yang terjadi, maka penyebaran HIV/AIDS di Subang ibarat 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' []
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H