Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pemko Banda Aceh Hanya Bisa Menyelamatkan Bayi Agar Tidak Lahir dengan HIV/AIDS

15 Juni 2024   14:53 Diperbarui: 23 Juni 2024   19:33 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hiruk-pikuk peningkatan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kota Banda Aceh yang jadi santapan banyak media online (portal berita) meninggalkan pesan yang tidak berkesudahan karena secara empiris mustahil menghentikan penyebaran HIV/AIDS.

Soalnya, penularan HIV/AIDS, dalam hal ini melalui hubungan seksual, merupakan ranah privasi sehingga hanya orang per orang yang bisa mencegah agar tidak tertular HIV/AIDS. Dan orang per orang pulalah yang bisa memutus mata rantai penularan HIV/AIDS di masyarakat.

Baca juga: Hanya Orang per Orang yang Bisa Memutus Mata Rantai Penularan HIV/AIDS Melalui Hubungan Seksual

Soalnya, perilaku-perilaku seksual yang jadi faktor risiko penularan HIV/AIDS terjadi di ranah privat yang mustahil bisa dijangkau atau diintervensi oleh negara (pemerintah) dengan dalih apapun. Apalagi sekarang transaksi seks dilakukan melalui kontak privat yaitu telepon seluluer (Ponsel) dengan eksekusi di sembarang tempata dan sembarang waktu.

Coba simak perilaku-perilaku seksual yang jadi faktor risiko penularan HIV/AIDS di bawah ini:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di Kota Banda Aceh atau di luar Kota Banda Aceh,

(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di Kota Banda Aceh atau di luar Kota Banda Aceh,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di Kota Banda Aceh atau di luar Kota Banda Aceh,

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di Kota Banda Aceh atau di luar Kota Banda Aceh,

(5). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di Kota Banda Aceh atau di luar Kota Banda Aceh,

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya di Kota Banda Aceh atau di luar Kota Banda Aceh.

Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),

(7). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria heteroseksual yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom di Kota Banda Aceh atau di luar Kota Banda Aceh,

(8). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom di Kota Banda Aceh atau di luar Kota Banda Aceh,

(9). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom di Kota Banda Aceh atau di luar Kota Banda Aceh.

Semua terjadi di ranah privasi. Memang, dulu ada lokalisasi pelacuran serta lokalisasi dan resosialisasi (Lokres) pelacuran, tapi sejak reformasi semuanya ditutup sehingga praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dengan modus dan transaksi yang tidak kasat mata.

Katakanlah Pemko Banda Aceh bisa menutup pintu perilaku seksual berisiko di atas di Kota Banda Aceh, tapi apakah Pemko Banda Aceh bisa menjami tidak ada warganya, terutama laki-laki dewasa, yang melakukannya di luar Kota Banda Aceh atau di luar negeri?

Tentu saja tidak bisa!

Itu artinya tetap ada warga Kota Banda Aceh yang berisiko terinfeksi HIV melalui perilaku seksual berisiko.

Jika ada laki-laki dewasa warga Kota Banda Aceh yang tertular HIV, maka ada risiko dia menularkan ke orang lain, yaitu istri bagi yang berkeluarga, tanpa disadari. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri atau gejala-gejala yang khas HIV/AIDS pada keluhan kesehatan dan fisik sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun sejak tertular jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART).

Baca juga: Gejala HIV/AIDS Tidak Otomatis Terkait dengan Infeksi HIV/AIDS

Maka, ada risiko perempuan (baca: istri) melahirkan anak dengan HIV/AIDS karena mereka tertular HIV/AIDS dari suaminya. Ini terjadi jika perempuan pengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi ketika hamil.

Celakanya, di beberapa daerah membuat regulasi yang mewajibkan perempuan hamil menjalani tes HIV, tapi suami mereka tidak ikut tes HIV. Hal ini membawa dampak buruk karena para suami dari perempuan hamil yang terdeteksi HIV-positif itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Matriks: Penyebaran HIV/AIDS di Masyarakat Jika Suami IRT HIV+ Tidak Jalani Tes HIV (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Penyebaran HIV/AIDS di Masyarakat Jika Suami IRT HIV+ Tidak Jalani Tes HIV (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Maka, Pemko Banda Aceh hanya punya satu pilihan yaitu menyelamatkan bayi-bayi yang akan lahir agar tidak lahir dengan HIV/AIDS dan memutus satu mata rantai penyebaran HIV/AIDS yaitu mewajibkan suami yang istrinya hamil menjalani tes HIV.

Sebelum tes HIV, diawali dengan konseling melalui cara-cara yang komprehensif agar suami tidak berbohong. Jika ada indikasi pernah atau sering melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS, maka dilanjutkan dengan tes HIV.

Tapi, perlu juga diperhatikan masa jendela karena jika tertular di bawah tiga bulan hasil tes HIV bisa negatif (nonreaktif) palsu (HIV sudah ada di darah tapi tes nonreaktif) atau positif (reaktif) palsu (HIV tidak ada di daerah tapi hasil tes reaktif). Untuk memastikan bisa dilanjutkan dengan tes konfirmasi yaitu dengan Western Blot.

Kalau suami HIV-positif, maka istri menjalani tes HIV. Jika istri yang hamil HIV-positif maka dijalankan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Kalau penanggulangan HIV/AIDS hanya sebatas orasi moral dengan penyuluhan, apalagi dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang dibalut dengan moral, hasilnya sudah bisa dipastikan nol besar. []

* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun