"Berdasarkan identifikasi KPA Klaten, kasus HIV berdasarkan faktor risiko LGBT, terutama perilaku gay atau LSL (lelaki seks dengan lelaki) di Kabupaten Klaten, berjumlah 146 kasus di tahun 2023. Sehingga terjadi kenaikan hingga 100 persen semenjak pertama kali ditemukan."
Ini adalah pernyataan Sekretaris KPA Klaten (Jawa Tengah-pen.), dr. Ronny Roekmitto dalam berita "KPA Klaten Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS ke Guru BK, Dukung Pendampingan Ekstra Sekolah" (jogja.tribunnews.com, 3/10-2023).
Ada yang tidak akurat pada kutipan pernyataan di atas, yaitu:
(a) LGBT adalah orientasi seksual (kecuali transgender) sehingga bukan faktor risiko penularan HIV/AIDS,
(b) Lesbian tidak melakukan seks penetrasi sehingga bukan merupakan faktor risiko penularan HIV/AIDS. Sampai detik ini belum ada laporan penularan HIV/AIDS karena faktor risiko seks lesbian,
(c) Risiko penularan HIV/AIDS pada gay (LSL-Lelaki Suka Seks Lelaki) bukan karena orentasi seksual yaitu homoseksual (sifat hubungan seksual), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan yang menganal tidak memakai kondom),
(d)Â HIV/AIDS pada gay (LSL) ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri sehingga tidak ada penyebaran di masyarakat (Lihat Matriks AIDS pada gay)
(e) Yang berisiko adalah B (biseksual) karena secara seksual mereka tertarik ke sejenis dan lawan jenis, jika dia seorang laki-laki maka di rumah melakukan hubungan seksual dengan istrinya di luar rumah seks dengan perempuan dan laki-laki,
(f) Transgender atau lebih dikenal sebagai Waria bukan orientasi seksual tapi identitas gender. Waria ada yang heteroseksual (punya istri dan anak) ada pula yang homoseksual.
Yang jadi persoalan besar adalah kasus HIV/AIDS pada laki-laki heteroseksual karena di rumah mereka seks dengan istri, tapi di luar bisa saja seks dengan perempuan lain melalui perilaku seksual berisiko, misalnya dengan pekerja seks komersial (PSK) yang sekarang ada di media sosial sebagai prostitusi online.
Yang perlu diingat adalah: penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (seks penertrasi vaginal dan anal) bukan karena sifat hubungan seksual, tapi kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom). Ini fakta!
Kalau sepasang gay HIV-negatif tidak akan pernah terjadi penularan HIV biarpun yang menganal tidak pakai kondom.
Disebutkan penularan HIV/AIDS karena faktor risiko LGBT, lalu bagaimana dengan pasangan suami-istri yg melakukan perilaku seks LGBT? Misalnya, seks oral dan anal serta posisi '69'.
Jika memakai patokan pada pernyataan dalam berita ini, maka pasangan suami-istri yang sah menurut agama dan hukum akan tertular HIV/AIDS jika melalukan faktor risiko LGBT.
Disebutkan dalam berita: Jumlah tersebut baru berdasarkan temuan kasus HIV, sementara masih banyak perilaku LGBT yang belum teridentifikasi, terutama di kalangan remaja.
Pernyataan di atas ngawur karena kasus HIV/AIDS di masyarakat bukan karena perilaku LGBT, tapi pada warga, laki-laki dan perempuan dewasa, yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu:
(1) Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2) Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(3) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(4) Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,
(5) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan Waria dengan kondisi yang menganal atau yang dioral tidak memakai kondom.
Dari fakta di atas jelas risiko penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual atau orientasi seksual, tapi karena kondisi ketika terjadi hubungan seksual.
Baca juga: Apa Ada Langkah Nyata Pemkab Klaten untuk Menanggulangi HIV/AIDS
Pertanyaan yang sangat mendasar untuk KPA Klaten: Apakah kasus HIV/AIDS tidak terdeteksi pada kalangan heterosekual, seperti ibu hamil dan suaminya serta warga lain?
Selama KPA Klaten hanya 'menembak' LGBT terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS, maka bencana besar akan terjadi karena penyebaran HIV/AIDS di masyarakat bukan dilakukan oleh LGBT (kecuali biseksual), tapi oleh laki-laki heteroseksual.
Baca juga: Penyumbang Kasus HIV/AIDS Bukan LGBT tapi Heteroseksual
Soal remaja yang disebut tertarik pada komunitas LGBT, khususnya gay, bisa jadi karena kondisi sosial yang melarang remaja pacaran. Di Aceh, misalnya, remaja cowok dan cewek tidak boleh berduaan di tempat umum. Tapi, sepasang cowok atau cewek tidak akan ditangkap polisi moral.
Sudah saat kita berpikir jernih dalam menanggapi epidemi HIV/AIDS agar penanggulangannya dengan cara-cara yang realistis bukan orasi moral yang tidak menukik ke akar persoalan. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H