Yang jadi persoalan besar adalah kasus HIV/AIDS pada laki-laki heteroseksual karena di rumah mereka seks dengan istri, tapi di luar bisa saja seks dengan perempuan lain melalui perilaku seksual berisiko, misalnya dengan pekerja seks komersial (PSK) yang sekarang ada di media sosial sebagai prostitusi online.
Yang perlu diingat adalah: penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (seks penertrasi vaginal dan anal) bukan karena sifat hubungan seksual, tapi kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom). Ini fakta!
Kalau sepasang gay HIV-negatif tidak akan pernah terjadi penularan HIV biarpun yang menganal tidak pakai kondom.
Disebutkan penularan HIV/AIDS karena faktor risiko LGBT, lalu bagaimana dengan pasangan suami-istri yg melakukan perilaku seks LGBT? Misalnya, seks oral dan anal serta posisi '69'.
Jika memakai patokan pada pernyataan dalam berita ini, maka pasangan suami-istri yang sah menurut agama dan hukum akan tertular HIV/AIDS jika melalukan faktor risiko LGBT.
Disebutkan dalam berita: Jumlah tersebut baru berdasarkan temuan kasus HIV, sementara masih banyak perilaku LGBT yang belum teridentifikasi, terutama di kalangan remaja.
Pernyataan di atas ngawur karena kasus HIV/AIDS di masyarakat bukan karena perilaku LGBT, tapi pada warga, laki-laki dan perempuan dewasa, yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu:
(1) Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2) Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(3) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,