Yang jadi masalah besar adalah intervensi hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir. Sedangkan di Indonesia praktek PSK tidak dilokalisir, bahkan belakangan ini lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial.
Itu artinya insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi di Jakarta Selatan yang pada gilirannya laki-laki dewasa yang tertular HIV/AIDS itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Di bagian lain berita disebutkan: .... ini tentu menjadi beban karena stigma masyarakat saat ini terhadap pengidap HIV adalah stigma buruk.
Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Dinkes Jakarta Selatan: Mengapa dan bagaiman identitas warga yang HIV-positif bisa bocor ke masyarakat?
Jika mengacu ke standar prosedur operasi tes HIV yang baku, maka identitas warga yang menjalani tes HIV wajib dirahasiakan.
Lagi pula stigma (pemberian cap buruk) terjadi setelah seseorang menjalani tes HIV dan identitasnya bocor atau dibocorkan.
Disebutkan pula dalam berita: Pemkot Jakarta Selatan juga menargetkan Program 3 Zero dalam pengendalian HIV pada 2030 yaitu zero infeksi kasus baru HIV, zero kematian akibat AIDS dan zero diskriminasi terhadap pengidap HIV AIDS.
Baca juga: Angan-angan Jakarta Bebas AIDS pada 2030 dan Mustahil Indonesia Bebas AIDS 2030 Tanpa Menutup Pintu Masuk HIV/AIDS
Pertanyaan untuk Pemkot Jakarta Selatan: Apa langkah konkret yang dilakukan untuk zero infeksi kasus baru HIV?