"Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Selatan menyiagakan 40 unit pelayanan pemeriksaan HIV AIDS di kota setempat dalam upaya melakukan pemetaan dan menekan penyebaran penyakit berbahaya tersebut." Ini lead pada berita "Pemkot Jaksel siagakan 40 unit layanan pemeriksaan HIV." Ini judul berita di antaranews.com (5/9-2023).
Ada beberapa hal yang tidak akurat pada lead berita ini, yaitu:
Pertama, HIV/AIDS bukan penyakit. HIV adalah virus, sedangkan AIDS adalah kondisi seseorang yang tertular HIV secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setela tertular HIV jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antriretroviral (ART).
Kedua, pemeriksaan HIV, yang akurat adalah tes HIV, dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS dilakukan di hilir yaitu terhadap warga yang sudah tertular HIV/AIDS.
Ketiga, penyebaran HIV/AIDS justru dilakukan oleh warga sebelum terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena mereka tidak menyadari bahwa mereka sudah tertular HIV/AIDS. Hal ini tejadi karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang tertular HIV/AIDS sebelum masa AIDS.
Maka, langkah Pemkot Jakarta Selatan itu merupakan langkah yang dilakukan di hilir. Itu artinya Pemkot Jakarta Selatan membiarkan warganya tertular HIV/AIDS.
Warga yang terdeteksi HIV-positif melalui tes HIV minimal sudah tertular tiga bulan sebelum tes HIV. Itu artinya sebelum terdeteksi mereka sudah menularkan HIV/AIDS kepada orang lain.
Jika warga yang tertular HIV/AIDS itu laki-laki maka dia berisiko menularkan HIV/AIDS ke istrinya, selingkuhan atau pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung.
Terkait dengan upaya menekan penyebaran HIV/AIDS yang perlu dilakukan Pemkot Jakarta Selatan adalah melakukan intervensi di hulu untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
Yang jadi masalah besar adalah intervensi hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir. Sedangkan di Indonesia praktek PSK tidak dilokalisir, bahkan belakangan ini lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial.
Itu artinya insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi di Jakarta Selatan yang pada gilirannya laki-laki dewasa yang tertular HIV/AIDS itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Di bagian lain berita disebutkan: .... ini tentu menjadi beban karena stigma masyarakat saat ini terhadap pengidap HIV adalah stigma buruk.
Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Dinkes Jakarta Selatan: Mengapa dan bagaiman identitas warga yang HIV-positif bisa bocor ke masyarakat?
Jika mengacu ke standar prosedur operasi tes HIV yang baku, maka identitas warga yang menjalani tes HIV wajib dirahasiakan.
Lagi pula stigma (pemberian cap buruk) terjadi setelah seseorang menjalani tes HIV dan identitasnya bocor atau dibocorkan.
Disebutkan pula dalam berita: Pemkot Jakarta Selatan juga menargetkan Program 3 Zero dalam pengendalian HIV pada 2030 yaitu zero infeksi kasus baru HIV, zero kematian akibat AIDS dan zero diskriminasi terhadap pengidap HIV AIDS.
Baca juga: Angan-angan Jakarta Bebas AIDS pada 2030 dan Mustahil Indonesia Bebas AIDS 2030 Tanpa Menutup Pintu Masuk HIV/AIDS
Pertanyaan untuk Pemkot Jakarta Selatan: Apa langkah konkret yang dilakukan untuk zero infeksi kasus baru HIV?
Sayang, dalam berita tidak ada penjelasannya. Selama Pemkot Jakarta Selatan tidak melakukan intervensi di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Jakarta Selatan.
Penyebaran HIV/AIDS itu bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara jadi 'ledakan AIDS.' *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H