Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masih Ada Upaya Karantina terhadap Pengidap HIV/AIDS di Kabupaten Berau di Kalimantan Timur

4 September 2023   21:05 Diperbarui: 4 September 2023   21:08 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: pbs.org)

"HIV AIDS Naik Drastis di Berau, Minta Razia Digencarkan. Syarifatul Miris dengan Peningkatan Kasus HIV." Ini judul berita di berau.prokal.co (30/8-2023).

Dalam berita disebutkan: Meningkatnya kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Kabupaten Berau menjadi perhatian khusus Wakil ketua I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Berau, (Kaltim-pen.), Syarifatul Syadiah.

Tidak jelas yang disebut 'meningkatnya kasus HIV' apakah jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS atau kasus HIV/AIDS baru.

Jika yang dimaksud meningkat jumlah kumulatif, maka itu merupakan hal yang wajar karena sistem pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru dan kasus kematian tidak dikeluarkan sehingga angkanya akan terus bertambah.

Nah, kalau yang dimaksud meningkat adalah jumlah kasus baru, misalnya, per hari, per pekan atau per bulan, maka perlu juga diperhatikan bahwa kasus baru yang terdeteksi baik per hari, per pekan atau per bulan tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat.

Letak geografis Kab Berau di Kaltim (Sumber: docplayer.info)
Letak geografis Kab Berau di Kaltim (Sumber: docplayer.info)

Pertama, di Kab Berau tidak ada sistem pendeteksian kasus HIV/AIDS di masyarakat yang komphrensif yang tidak melawan hukum serta tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) sehingga kasus yang terdeteksi hanya yang berobat dengan penyakit lain atau ibu hamil yang menjalani tes HIV.

Kedua, perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat matriks).

Matriks: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Ketiga, maka yang diperlukan di Kab Berau adalah program yang bisa mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS tanpa melawan hukum dan melanggar HAM.

Disebutkan oleh Syarifatul Syadiah: "Permasalahan ini harus kita cari solusinya bersama-sama agar tidak semakin banyak penyebarannya."

Caranya?

Menurut Syarifatul Syadiah: "Harus sering-sering dilakukan razia di tempat-tempat yang di sinyalir menjadi tempat penyebaran, seperti Tempat Hiburan Malam (THM)."

Langkah di atas sama sekali bukan merupakan cara yang benar, karena:

(a) Apakah di THM itu disediakan tempat untuk melakukan hubungan seksual?

Jika jawabannya: Ya, maka langkah yang benar terkait dengan epidemi HIV/AIDS bukan razia tapi menerapkan seks yang aman yaitu laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan perempuan di THM.

(b) Razia yang ujung-ujungnya melakukan tes HIV kepada perempuan di THM, dalam hal ini pekerja seks atau pelayan plus-plus, sema sekali tidak ada manfaatnya terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS.

Jika ada perempuan yang terjaring razia lalu tes HIV dan hasilnya positif, persoalan bukan pada perempuan-perempuan itu tapi pada laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada mereka dan laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari mereka (Lihat Matriks).

Matriks: Penyebaran HIV/AIDS di Masyarakat. (Foto: Dok/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Penyebaran HIV/AIDS di Masyarakat. (Foto: Dok/Syaiful W. Harahap)

Laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke perempuan-perempuan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Begitu juga dengan laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari perempuan-perempuan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah

Sejatinya Pemkab Berau menjalankan program pencegahan agar laki-laki tidak menularkan dan tidak tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan perempuan di THM.

Dalam berita disebutkan: Dari hasil razia gabungan yang dilakukan beberapa waktu lalu, rata-rata didapati positif yang berada di THM.

Nah, yang jadi persoalan bukan kasus pada perempuan yang dirazia, tapi pada laki-laki yang menualarkan dan tertular HIV/AIDS dari perempuan yang terjaring razia dengan kondisi HIV-positif.

Terkait dengan tes HIV juga perlu diperhatikan hasilnya bisa positif palsu (HIV tidak ada di darah tapi tes reakti) atau negatif palsu (HIV sudah ada di darah tapi tes tidak reaktif). Yang bikin celaka adalah hasil tes negatif palsu karena mereka dianggap tidak mengidap HIV/AIDS sehingga tetap bekerja sebagai pekerja seks.

Ada lagi pernyataan: Dari beberapa kasus positif yang ada, rata-rata yang terjangkit merupakan pendatang yang bekerja di Berau. Sehingga kemungkinan penyakit ini dibawa dari luar Berau.

Pertanyaannya: yang dimaksud dengan pendatang yang terjangkit HIV/AIDS itu siapa?

Kalau yang dimaksud pendatang yang terdeteksi positif HIV itu pekerja seks atau pelayan/pemijat plus-plus, maka ada dua kemungkinan, yaitu:

(1) Pekerja seks atau pelayan/pemijat plus-plus itu datang ke Berau sudah mengidap HIV/AIDS, maka persoalan ada pada laki-laki penduduk Berau yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks atau pelayan/pemijat plus-plus. Mereka berisiko tertular HIV/AIDS. Laki-laki warga Berau yang tertular HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, seperti ke istrinya, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

(2) Pekerja seks atau pelayan/pemijat plus-plus itu datang ke Berau dengan status HIV-negatif sehingga mereka justru tertular HIV/AIDS dari laki-laki warga Berau, maka persoalan ada pada laki-laki penduduk Berau yang mengidap HIV/AIDS karena jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, seperti ke istrinya, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dikatakan lagi oleh Syarifatul Syadiah: "Kalau memang yang positif itu orang luar Berau, seharusnya dikembalikan ke daerah asal orang itu, jangan sampai menyebarkan di Berau. Dikarantina terlebih dahulu,"

Ini benar-benar di luar akal sehat karena sejak awal epidemi HIV/AIDS tidak ada opsi karantina. Soalnya, HIV/AIDS bukan wabah, tapi epidemi. HIV/AIDS tidak mudah menular dan tidak menular melalui air, udara, makanan dan pergaulan sosial sehari-hari.

Lagi pula biarpun perempuan yang jadi pekerja seks dan pelayan/pemijat plus-plus yang terdeteksi HIV/AIDS dipulangkan ke daerah asalnya atau dikarantina, atau, maaf, 'dihabisi' persolan tidak akan pernah selesai karena:

- ada laki-laki warga Berau yang mengidap HIV/AIDS yaitu yang menularkan HIV/AIDS kepada perempuan yang jadi pekerja seks dan pelayan/pemijat plus-plus, dan

- ada pula laki-laki warga Berau yang tertular HIV/AIDS dari perempuan yang jadi pekerja seks dan pelayan/pemijat plus-plus.

Sudah saatnya daerah melakukan penanggulangan HIV/AIDS dengan cara-cara yang realistis berdasarkan fakta medis bukan sekedar orasi moral yang sama saja dengan 'tong kosong nyaring bunyinya.' *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun