Begitu juga dengan laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari perempuan-perempuan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah
Sejatinya Pemkab Berau menjalankan program pencegahan agar laki-laki tidak menularkan dan tidak tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan perempuan di THM.
Dalam berita disebutkan: Dari hasil razia gabungan yang dilakukan beberapa waktu lalu, rata-rata didapati positif yang berada di THM.
Nah, yang jadi persoalan bukan kasus pada perempuan yang dirazia, tapi pada laki-laki yang menualarkan dan tertular HIV/AIDS dari perempuan yang terjaring razia dengan kondisi HIV-positif.
Terkait dengan tes HIV juga perlu diperhatikan hasilnya bisa positif palsu (HIV tidak ada di darah tapi tes reakti) atau negatif palsu (HIV sudah ada di darah tapi tes tidak reaktif). Yang bikin celaka adalah hasil tes negatif palsu karena mereka dianggap tidak mengidap HIV/AIDS sehingga tetap bekerja sebagai pekerja seks.
Ada lagi pernyataan: Dari beberapa kasus positif yang ada, rata-rata yang terjangkit merupakan pendatang yang bekerja di Berau. Sehingga kemungkinan penyakit ini dibawa dari luar Berau.
Pertanyaannya: yang dimaksud dengan pendatang yang terjangkit HIV/AIDS itu siapa?
Kalau yang dimaksud pendatang yang terdeteksi positif HIV itu pekerja seks atau pelayan/pemijat plus-plus, maka ada dua kemungkinan, yaitu:
(1) Pekerja seks atau pelayan/pemijat plus-plus itu datang ke Berau sudah mengidap HIV/AIDS, maka persoalan ada pada laki-laki penduduk Berau yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks atau pelayan/pemijat plus-plus. Mereka berisiko tertular HIV/AIDS. Laki-laki warga Berau yang tertular HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, seperti ke istrinya, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
(2) Pekerja seks atau pelayan/pemijat plus-plus itu datang ke Berau dengan status HIV-negatif sehingga mereka justru tertular HIV/AIDS dari laki-laki warga Berau, maka persoalan ada pada laki-laki penduduk Berau yang mengidap HIV/AIDS karena jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, seperti ke istrinya, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Dikatakan lagi oleh Syarifatul Syadiah: "Kalau memang yang positif itu orang luar Berau, seharusnya dikembalikan ke daerah asal orang itu, jangan sampai menyebarkan di Berau. Dikarantina terlebih dahulu,"