Di situs DW (Deutsche Welle 23/8-2023) yang bersumber dari detiknews ada judul berita: Menperin (Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita-pen.) Ragukan Tudingan Industri Jadi Biang Kerok Polusi. Sayang, dalam laporan itu tidak ada gambaran riil yang menunjukkan industri sudah memakai EBT.
Begitu juga dengan stasiun-stasiun TV adalah hal yang membanggakan ketika menyiarkan berita tentang polusi udara dengan latar belakang pembangkit tenaga EBT di stasiun TV tersebut dan kendaraan dinas serta peralatan yang memakai EBT.
PBB sendiri mengharapkan dunia menghentikan pemakaian batu bara antara lain untuk PLTU paling lambat tahun 2040.
Sementara itu Uni Eropa mulai tahun 2030 melarang pemakaian kendaraan bermotor dengan menggunakan bahan bakar minya (BBM) fosil. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian negara-negara penghasil BBM mulai banting stir dengan membuka kegiatan ekonomi, seperti pariwasata dengan resort, hotel, dan kasino, serta kegiatan olahraga.
Pemakaian batu bara dan BBM disebut jadi salah satu faktor yang mendorong perubahkan iklim Bumi yang akhirnya meningkatkan suhu 1,5 derajat Celcius. Akibatnya, es di kutub akan mencair dan berdampak buruk terhadap kehidupan di Bumi.
Potensi PLTA di Indonesia tinggi. Dalam laporan di laman sda.pu.go.id menyebutkan: Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Indonesia diperkirakan sebesar 76.670 Megawatt (MW) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mini/Makro Hidro (PLTM/PLTMH) sebesar 770 MW merupakan aset yang harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari potensi tersebut baru sekitar 6 persen yang telah dikembangkan.
Tidak jelas mengapa kemudian pemerintah justru mengabaikannya dan memilih membangun pembangkit listrik yang meningkatkan polusi udara.
Mari berbuat yang nyata untuk mengurangi polusi udara! *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H