Belakangan ini media massa (media cetak dan elektronik-terutama TV) dan media online serta berbagai kalangan mulai dari petinggi dan pejabat sampai pakar dan tokoh ramai-ramai bicara soal polusi udara khususnya di Jakarta.
Tapi, serasa ada yang mengganjal di pikiran. Soalnya, kita teriak-teriak tapi tidak berbuat yang konkret untuk menurunkan tingkat polusi udara, terutama di Jakarta dan sekitarnya.
Ibarat kata pepatah: Bak menepuk air di dulang terpercik muka sendiri!
KRL (kereta rel listrik), MRT (mass rapid transit/subway diindonesiakan jadi moda raya terpadu) dan belakangan LRT (light rail transit diindonesiakan jadi lintas raya terpadu), misalnya, memang memakai tenaga penggerak hijau yaitu daya listrik.
Tapi, perlu diingat daya listrik besar yang dipakai menggerakkan KRL, MRT dan LRT disediakan antara lain oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang memakai batu bara untuk menghasilkan uap menggerakan turbin.
Begitu juga dengan stasiun-stasiun televisi (TV) yang berkoar-koar soal kualitas udara dan kaitannya dengan kesehatan warga, dalam hal ini ISPA (infeksi saluran pernapasan atas). Mereka yaitu stasiun-stasiun TV itu, juga memakai tenaga listrik, antara lain yang dihasilkan dari PLTU.
Hal yang sama terjadi pada kantor-kantor instansi pemerintah yaitu kementerian dan lembaga, termasuk istana. Kerlap-kerlip lampu, penggerak lift dan eskalator serta peralatan kantor memakai daya listrik yang antara lain bersumber dari PLTU.
Begitu juga dengan kendaraan bermotor dinas dan pribadi pegawai kementerian dan lembaga: Berapa persen yang sudah memakai energi baru terbarukan (EBT)?
Kalau saja kementerian dan lembaga menjadi pelopor pemakaian energi hijau sebagai sumber energy yaitu (EBT) antara lain melalui solar cell (sel surya) yang memanfaatkan sinar matahari atau PLTA (pembangkit listrik tenaga air) tentulah merupakan langkah yang arif dan bijaksana dalam memerangi polusi udara.
Di situs DW (Deutsche Welle 23/8-2023) yang bersumber dari detiknews ada judul berita: Menperin (Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita-pen.) Ragukan Tudingan Industri Jadi Biang Kerok Polusi. Sayang, dalam laporan itu tidak ada gambaran riil yang menunjukkan industri sudah memakai EBT.
Begitu juga dengan stasiun-stasiun TV adalah hal yang membanggakan ketika menyiarkan berita tentang polusi udara dengan latar belakang pembangkit tenaga EBT di stasiun TV tersebut dan kendaraan dinas serta peralatan yang memakai EBT.
PBB sendiri mengharapkan dunia menghentikan pemakaian batu bara antara lain untuk PLTU paling lambat tahun 2040.
Sementara itu Uni Eropa mulai tahun 2030 melarang pemakaian kendaraan bermotor dengan menggunakan bahan bakar minya (BBM) fosil. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian negara-negara penghasil BBM mulai banting stir dengan membuka kegiatan ekonomi, seperti pariwasata dengan resort, hotel, dan kasino, serta kegiatan olahraga.
Pemakaian batu bara dan BBM disebut jadi salah satu faktor yang mendorong perubahkan iklim Bumi yang akhirnya meningkatkan suhu 1,5 derajat Celcius. Akibatnya, es di kutub akan mencair dan berdampak buruk terhadap kehidupan di Bumi.
Potensi PLTA di Indonesia tinggi. Dalam laporan di laman sda.pu.go.id menyebutkan: Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Indonesia diperkirakan sebesar 76.670 Megawatt (MW) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mini/Makro Hidro (PLTM/PLTMH) sebesar 770 MW merupakan aset yang harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari potensi tersebut baru sekitar 6 persen yang telah dikembangkan.
Tidak jelas mengapa kemudian pemerintah justru mengabaikannya dan memilih membangun pembangkit listrik yang meningkatkan polusi udara.
Mari berbuat yang nyata untuk mengurangi polusi udara! *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H