Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasus HIV/AIDS di Banten Terdeteksi Pada Warga di Pelosok Desa dan di Puncak Gunung

12 Oktober 2022   00:07 Diperbarui: 17 Oktober 2022   10:09 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: yalemedicine.org)

Mobilitas warga dari pelosok desa ke kota dengan berbagai alasan menimbulkan masalah sosial, seperti risiko tertular HIV/AIDS karena perilaku seksual berisiko

Dikatakan Ati (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten dr Ati Pramudji Hastuti-pen.) temuan kasus HIV/AIDS di Provinsi Banten saat ini sudah sampai ke pelosok desa, bahkan di pegunungan. "Sampai di atas puncak gunung di Lebak pun kita menemukan (kasus HIV/AIDS)," ujar Ati. Ini ada dalam berita "Dinkes: Hingga Maret 2022 Ada 13.670 Kasus HIV/AIDS di Banten" di regional.kompas.com (15/9-2022).

Celakanya, dalam berita tidak ada penjelasan tentang: mengapa dan bagaimana kasus HIV/AIDS terdeteksi di pelosok desa sampai di puncak gunung di Lebak.

Pernyataan itu mengesankan HIV/AIDS yang datang ke pelosok desa dan puncak gunung di Lebak, Banten.

Padahal, HIV/AIDS terdeteksi pada warga di pelosok desa dan di puncak gunung. Tentu saja bukan HIV/AIDS yang datang menginfeksi warga di pelosok desa dan di puncak gunung, tapi warga dari pelosok desa dan di puncak gunung pergi ke kota untuk berbagai keperluan, antara lain bekerja di berbagai sektor formal dan informal.

Nah, di kota mereka melakukan perilaku seksual berisiko yang membuat mereka tertular HIV/AIDS.

Mengapa hal itu terjadi?

Banyak warga di Tanah Air yang pernah atau sering melakukan perilaku bersiko karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS yang dikemas dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS hilang. Yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misanya, mengait-ngaitka 'seks bebas' dengan penularan HIV/AIDS. Seperti dalam berita ini disebutkan: Namun saat ini, penderita HIV/AIDS kebanyakan disebabkan oleh perilaku seks bebas.

'Seks bebas' adalah terminologi yang ngawur bin ngaco karena tidak jelas artinya. Kalau 'seks bebas' diartikan sebagai zina, maka mengaitkan penularan HIV/AIDS dengan 'seks bebas' salah kaprah.

Soalnya, risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan sesual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom (lihat matrik sifat dan kondisi hubungan seksual).

Matriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Saat Terjadi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Saat Terjadi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko berikut, yaitu:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(5). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, 

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),

(7). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria heteroseksual yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(8). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(9). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom, 

(10). Laki-laki dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal, seks vaginal dan seks oral) dengan laki-laki atau perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi tidak memakai kondom. 

Informasi yang akurat tentang perilaku berisiko seperti di atas tidak pernah disampaikan ke masyarakat di Tanah Air sehingga banyak orang yang terjerumus berbuat perilaku berisiko yang berujung tertular HIV/AIDS.


Disebutkan: Adapun upaya pencegahan yakni dengan meningkatkan akses layanan kesehatan dan memberikan edukasi kepada masyarakat beresiko agar mau mendatangi fasilitas kesehatan untuk mengeceknya.

Perlu dipahamai bahwa akses layanan dan tes HIV adalah langkah di hilir yaitu aksis layanan bagi pengidap HIV/AIDS dan tes HIV bagi yang sudah melakukan perilaku seksual berisiko.

Nah, yang diperlukan adalah langkah penanggulangan di hulu yaitu agar tidak ada lagi warga yang melakukan perilaku seksul berisiko.

Disebutkan pula oleh Ati: penderita enggan mendatangi fasilitas kesehatan untuk mengecek kesehatannya karena malu, dan ada anggapan di masyarakat jika menderita HIV/AIDS dijauhi.

Baca juga: Pengidap HIV/AIDS di Banten Disebut Enggan Datangi Fasilitas Layanan Kesehatan untuk Cek Kesehatan

Mengapa bisa warga yang mengidap HIV/AIDS dikenal di masyarakat?

Jika berpijak pada syarat tes HIV, maka ada aspek konfidensialitas yaitu kerahasiaan identitas dan penyakit yang diderita. Sebenarnya kerahasiaan tidak hanya untuk HIV/AIDS tapi semua jenis penyakit adalah rahasia jabatan dokter yang disebut medical record (lebih dikenal sebagai status).

Penyakit apapun hanya dokter dan pasien yang mengetahuinya. Perawat dan tenaga medis lain tidak boleh membacara medical record. Membeberkan identitas dan penyakit pasien tanpa izin pasien adalah perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Sebenya warga yang terdeteki HIV/AIDS melalui tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku sudah tercatat sebagai pasien yang menerima pengobatan dengan antiretroviral (ART), konseling dan pengobatan penyakit lain. Mereka tetap diperlukakan dengan identitas yang dihrasiakan.

Disebutkan pula: "Nah itu lah kita harus banyak lagi mencari, penemuan ini belum menggambarkan sesungguhnya. Jadi dari estimasi telah ditetapkan baru separonya kita mencapai itu, kita terus mencari," tandas Ati.

Caranya bagaimana? Sayang, tidak ada penjelasan. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun