Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kaitkan HIV/AIDS dengan Gaya Hidup Bebas Dorong Stigma dan Diskriminasi terhadap Pengidap HIV/AIDS

11 Oktober 2022   00:07 Diperbarui: 11 Oktober 2022   00:17 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: borgenproject.org)

Stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS antara lain terjadi karena kaitkan penularan HIV/AIDS dengan gaya hidup bebas

"Stigma masyarakat adalah faktor pembunuh utama teman-teman penderita HIV/AIDS. Untuk itu, kami berusaha menginformasikan kepada masyarakat bahwa HIV/AIDS hanya menular lewat cairan kelamin dan darah. Jangan kucilkan dan diskriminasi mereka." Ini dikatakan oleh Pj Sekda Demak (Jawa Tengah-pen.), Eko Pringgolaksito, dalam berita "Pj Setda: Gaya Hidup Bebas Menjadi Faktor Penularan HIV/AIDS" di infopublik.id, (7/10-2022).

Celakanya, judul berita ini saja sudah merupakan faktor yang bisa mendorong masyarakat melakuan stigma (pemberitan cap buruk atau negatif) terhadap pengidap HIV/AIDS. Selain stigma juga terjadi diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS, bahkan berdasarkan beberapa studi justru banyak terjadi di fasilitas layanan kesehatan (Fasyankes).

Masyarakat melihat pengidap HIV/AIDS adalah 'pelaku gaya hidup bebas.' Terminologi ini sarat moral yang mengarah ke hal-hal yang negatif.

Penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual, dalam berita ini disebut 'gaya hidup bebas,' tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yaitu salah satu atau kedunya mengidap HIV/AIDS dan laki-lak tidak pakai kondom (lihat matriks sifat dan kondisi hubungan seksual).

Matriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Saat Terjadi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Saat Terjadi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Yang paling menderita karena kena stigma adalah ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suami. Mereka sama sekali tidak melakukan perilaku seksual berisiko. Begitu pula dengan anak-anak yang dilahirkan ibu pengidap HIV/AIDS jadi korban stigma.

Tidak jelas apa yang dimaksud dengan 'gaya hidup bebas.' Silakan simak perilaku-perilaku seksual berikut ini apakah merupakan 'gaya hidup bebas'?

Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Karena Anak Keduanya Lahir dengan HIV/AIDS

Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko berikut ini, yaitu:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(5). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, 

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),

(7). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria heteroseksual yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(8). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(9). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom, 

(10). Laki-laki dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal, seks vaginal dan seks oral) dengan laki-laki atau perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi tidak memakai kondom. 

Dibagian akhir disebutkan: Justru bagi penderita HIV/AIDS, lanjuntya, harus ditangani dengan khusus. Ini dikhawatirkan kalau tidak ditangani dengan baik akan menularkan ke orang-orang di sekitarnya.

Warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV yang sesuai dengan standar presedur operasi tes HIV yang baku sebelum tes sudah berjanji jika hasil tes positif HIV, maka mereka akan menghentikan penularan HIV/AIDS mulai dari dirinya.

Selain itu pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi di Fasyankes pemerintah otomatis akan menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral (ART) sehingga menekan risiko penularan HIV/AIDS.

Yang jadi masalah besar adalah warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS karena tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda dan gejala-gejala pada fisik dan keluhan kesehatan yang khas AIDS. Tapi, mereka bisa menularkan HIV/AIDS terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Maka, diperlukan langkah yang konkret untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS tanpa melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Selama warga pengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS terus terjadi di masyarakat bagaikan 'bom waktu' yang kelak jadi 'ledakan AIDS.' *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun