Stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS antara lain terjadi karena kaitkan penularan HIV/AIDS dengan gaya hidup bebas
"Stigma masyarakat adalah faktor pembunuh utama teman-teman penderita HIV/AIDS. Untuk itu, kami berusaha menginformasikan kepada masyarakat bahwa HIV/AIDS hanya menular lewat cairan kelamin dan darah. Jangan kucilkan dan diskriminasi mereka." Ini dikatakan oleh Pj Sekda Demak (Jawa Tengah-pen.), Eko Pringgolaksito, dalam berita "Pj Setda: Gaya Hidup Bebas Menjadi Faktor Penularan HIV/AIDS" di infopublik.id, (7/10-2022).
Celakanya, judul berita ini saja sudah merupakan faktor yang bisa mendorong masyarakat melakuan stigma (pemberitan cap buruk atau negatif) terhadap pengidap HIV/AIDS. Selain stigma juga terjadi diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS, bahkan berdasarkan beberapa studi justru banyak terjadi di fasilitas layanan kesehatan (Fasyankes).
Masyarakat melihat pengidap HIV/AIDS adalah 'pelaku gaya hidup bebas.' Terminologi ini sarat moral yang mengarah ke hal-hal yang negatif.
Penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual, dalam berita ini disebut 'gaya hidup bebas,' tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yaitu salah satu atau kedunya mengidap HIV/AIDS dan laki-lak tidak pakai kondom (lihat matriks sifat dan kondisi hubungan seksual).
Yang paling menderita karena kena stigma adalah ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suami. Mereka sama sekali tidak melakukan perilaku seksual berisiko. Begitu pula dengan anak-anak yang dilahirkan ibu pengidap HIV/AIDS jadi korban stigma.
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan 'gaya hidup bebas.' Silakan simak perilaku-perilaku seksual berikut ini apakah merupakan 'gaya hidup bebas'?
Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Karena Anak Keduanya Lahir dengan HIV/AIDS
Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko berikut ini, yaitu: