Dalam berita tidak ada penjelasan tentang faktor risiko kasus HIV/AIDS di Kota Bekasi. Berita lebih mementingkan kelompok umur dengan menyebut: .... didominasi warga berusia 25-49 tahun.
Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada warga berusia 25-49 tahun adalah hal yang realistis karena pada rentang usia itu libido tinggi dan mereka punya uang membeli seks, antara lain ada yang bekerja.
Akan ironis jika kasus HIV/AIDS di Kota Bekasi banyak terdeteksi pada Lansia (lanjut usia) dengan faktor risiko hubungan seksual atau pada bayi dan anak-anak.
Yang jadi masalah besar warga berusia 25-49 tahun tidak memperoleh informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat sesuai dengan fakta medis. Soalnya, selama ini informasi tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menghilangkan fakta medis dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Misalnya, mengait-ngaitkan sifat hubungan seksual dengan penularan HIV/AIDS. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, seks bebas, seks pranikah, melacur, homoseksual dan lain-lain), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (Liha matrik kondisi dan sifat hubungan seksual).
Celakanya, dorongan libido hanya bisa disalurkan melalui hubungan seksual atau 'seks swalayan' (onani pada laki-laki dan masturbasi pada perempuan). Tapi, 'seks swalayan' tidak membuat hasrat tuntas hanya untuk sementara waktu.
Maka, selama informasi HIV/AIDS hanya berupa mitos selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIS di masyarakat sebagai 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H