Dengan kondisi praktek pelacuran yang sudah pindah ke media sosial maka mustahil melakukan penjangkuan terhadap laki-laki pembeli seks
"Tanggulangi HIV/AIDS, Perlu Intervensi Laki-laki Pembeli Seks" Ini judul berita di VOA Indonesia, 2/9-2022.
Pernyataan di judul berita itu bak mimpi di siang bolong.
Pertama, mustahil melakukan intervensi terhadap laki-laki pembeli seks karena sekarang transaksi seks terjadi di ranah privat. Coba simak perilaku seksual berisiko ini, sama sekali tidak bisa diintervensi.
(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,Â
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),
(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,
(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,
(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,Â
(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,Â
Kedua, seperti dikatakan oleh Laurensia Ana Yuliastanti, pengelola program HIV, di Komisi Penanggulangan AIDS DIY, "Belajar dari Vietnam, sekarang sudah menahan angka prevalensi HIV sampai 0,1 persen. Sangat-sangat luar biasa, karena di setiap prostitusi ada klinik. Kalau orang masuk prostitusi, mereka harus tes, kalau ketahuan kena sifilis atau penyakit kelamin, mereka tidak boleh beli seks di situ."
Yang jelas dalam kontesk di atas hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran. Sedangkan di Indonesia sejak reformasi ada gerakan moral yang menutup semua lokalisasi dan lokres (lokalisasi dan resosialisasi) pelacuran.
Pertanyaan untuk Ana, bagaimana caranya melakukan intervensi kepada laki-laki yang melakukan perilaku seksual berisiko di atas yang terjadi di ranah privat?
Tentu saja tidak bisa!
Kondisi yang terjadi sekarang perilaku seksual berisiko tidak bisa dijangkau karena di ranah privat (Lihat matriks perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau)
Program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yang dijabarkan melalui peraturan daerah (Perda) penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS tapi hanya mengekor ke ekor program di Thailand yaitu 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki dewasa yang membeli seks di tempat pelacuran dan rumah bordir. Program ini di Thailand secara nyata menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa.
Program tersebut akan menghukum germo atau mucikari jika ada PSK anak buahnya yang terdeteksi mengidap IMS atau HIV/AIDS atau keduanya.
IMS adalah infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, antara pengidap IMS ke orang lain dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, yaitu: kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), klamdia, jengger ayam, virus hepatitis B, virus kanker serviks, trikomona, herpes genitalis, dan kutil kelamin.
Sedangkan dalam beberapa Perda AIDS dari sekitar 150-an Perda AIDS di Indonesia yang dihukum justru PSK. Ini jelas tidak tepat sasaran karena germo justru memaksa PSK meladeni laki-laki yang tidak mau memakai kondom. Kacau 'kan.
Maka, seperti yang pernah dikakatan oleh (alm) dr Kartono Mohamad, pernah jadi Ketua IDI Pusat, dalam beberapa kesempatan wawancara dengan penulis: yang bisa menghentaikan penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual hanya masyarakat.
Celakanya, sejak awal epidemi HIV/AIDS sampai sekarang informasi tentang HIV/AIDS dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS di sisi lain menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Yang sampai ke masyarakat melalui KIE hanya mitos sehingga peran serta masyarakat dalam penaggulangan HIV/AIDS pun tidak bisa diandalkan karena mereka hanya memahami HIV/AIDS sebatas mitos.
Salah satu jargon yang memorak-morandakan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia adalah 'seks bebas' yang tidak jelas juntrungannya. Secara harfiah 'seks bebas' ternyata mengacu ke pelacuran yaitu membeli seks dengan PSK di lokalisasi pelacuran.
Baca juga: Seks Bebas Jargon yang Jadi Kontra Produktif terhadap Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
Lihat saja berita seputar HIV/AIDS yang terdeteksi pada mahasiswa ber-KTP Bandung, sebagian besar sama sekali hanya sebagai sensasi yang dibumbui jadi berita yang bombastis (omong kosong).
Dikatakan lagi oleh Ana: Namun, tidak ada dinas apapun di daerah yang melakukan intervensi (terhadap laki-laki heteroseksual yang membeli seks-pen.) ini, sesuai catatan KPA Yogyakarta.
Pertanyaan di atas terkait dengan jumlah ibu rumah tangga (istri) yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Di Bandung dilaporkan 664 sedangkan di DI Yogyakarta 655.
Celakanya, di banyak daerah yang jadi objek justru perempuan (istri). Misalnya, sasaran penyuluhan dan yang diwajibkan tes HIV ketika hamil.
Kondisinya kian runyam karena banyak suami yang menolak menjalani tes HIV jika istrinya yang sedang hamil hasil tes HIV-nya positif. Pada giliranya suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Sejatinya daerah membalik paradigma berpikir: setiap suami yang istrinya hamil wajib menjalani tes HIV. Ini yang harus dibuatkan regulasinya, misalnya Perda. Langkah ini membuat suami tidak bisa lagi menolak untuk tes HIV.
Terkait dengan pemakaian kondom pada seks berisiko di Yogyakarta, Lusiani, di Dinas Kesehatan DI Yogyakarta, mengakan: "Di sana ada paguyuban, kita sediakan stok kondom. Sehingga laki-laki pembeli seks yang di situ, wajib pakai, kalau enggak mau enggak dilayani. Kemarin, sewaktu kita wawancara dengan ketua paguyuban, mereka tetap mewajibkan hal itu."
Tapi, apakah ada mekanisme seperti di Thailand?
Tidak ada!
Maka, tidak ada jaminan semua laki-laki yang membeli seks di tempat pelacuran di Yogyakarta selalu memakai kondom.
Itu artinya insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi. Mereka yang tertular dan tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat sebagai 'bom wakut' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' *
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI