(5). Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV,
(6) Memakai jarum suntik dan tabungnya secara bersama-sama dengan berganti-ganti dan bergilir, terutama pada penyalahguna Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) karena bisa saja salah satu mengidap HIV/AIDS sehingga darah masuk ke jarum suntik dan ke tabung yang salnjutnya disuntikkan ke badan penyalahguna yang lain.
Empat perilaku seksual berisiko itu tidak bisa dijangkau karena ada di ranah privat. Padahal, untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru hanya bisa dilakukan melalui penjangakauan untuk sosialisasi pemakaian kondom.
Kembali ke inti persoalan, ternyata jumlah mahasiswa ber-KTP Bandung sebanyak 414 yang disebut tertula HIV/AIDS merupakan jumlah kumulatif dari tahun 1991-2021 alias 30 tahun. Hal ini dikatakan oleh Kepala Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bandung, Sis Silvia Dewi (health.detik.com, 28/8-2022).
Artinya, setiap tahun hanya ada 13,8 mahasiswa yang tertular HIV/AIDS atau 1,15 mahasiswa per bulan. Informasi soal jumlah itu tidak akurat, tapi sudah menimbulan kepanikan dan kegemparan serta stigma (cap buruk) terhadap mahasiswa.
Lebih lanjut dikatakan walaupun 6,9% atau 414 kasus terjadi pada mahasiswa, ternyata temuan paling banyak justru pada pekerja swasta, yakni 30%, 15% pada wiraswasta dan 11% pada ibu rumah tangga (IRT). Celakanya, hanya mahasiswa yang dijadikan objek pemberitaan karena bisa dikatikan dengan perilaku (moral) yang dikembangkan sebagai berita yang sensasional dan bombastis.
Padahal, jika dilihat dari aspek moral tentulah suami-suami yang lebih tidak bermoral karena 664 ibu rumah tangga pada kurun waktu yang sama juga terdeteksi HIV-positif. Suami-suami sebagai 'laki-laki hidung belang' itu melakukan perilaku seksual berisiko dan membawa penyakit ke rumah. Bukan hanya istrinya yang menderita, tapi juga bayi yang kelak dihalirkan istrinya dengan HIV/AIDS jika selama kehamilan dan persalinan tidak ditangani oleh dokter.
Yang jadi pertanyaan besar untuk KPA Bandung, apakah suami dari 664 ibu rumah tangga itu mejalani tes HIV?
Kalau jawabannya tidak, maka bencana yang lebih besar akan melanda Kota Bandung karena suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Bahkan, ada di antara suami-suami itu yang mempunyai istri lebih dari 1 sehingga jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS jauh lebih banyak lagi.
Maka, Pemkot Bandung perlu membuat regulasi untuk mendeteksi warga Kota Bandung yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Soalnya, jumlah kasus yang terdeteksi tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.